Sebuah Pertanyaan Tentang Cinta Budaya Literasi

Sebuah Pertanyaan Tentang Cinta Budaya Literasi

Pada 27 s/d 29 Oktober, Kemendibud menyelenggarakan Festival Literasi Sekolah 2017. Hajatan ini merupakan sebuah acara dengan misi besar, dengan kemasan yang sederhana tapi sarat makna dan pesan. Diselenggarakan di Plaza Insani Kemendikbud, acara ini tidak kehilangan animo masyarakat untuk mengunjungi beragam acara dan booth pameran yanga ada. Misi besar yang diusung adalah semacam bagian dari upaya menumbuhkembangkan budaya literasi sekaligus merayakan berbagai capaian yang sudah berkembang di berbagai lembaga sekolah serta berbagai workshop, simposium, dan happening terkait Gerakan Literasi Sekolah.

Gelaran ini juga merupakan display secara umum mengenai kesiapan sekolah di berbagai daerah dalam mengembangkan budaya literasi. Dari beragam lembaga yang menyajikan data dan informasi mengenai kesiapan dan capaian terkait budaya literasi di tempat masing-masing, hal yang paling membanggakan adalah spirit untuk menjadikan literasi menjadi bagian penting dari proses pendidikan yang dijalankan. Dalam banyak hal, terlihat rekam jejak gerakan literasi sebagai sebuah program telah terlihat dan terukur.

Pemerintah dan berbagai pihak terkait memang harus bergerak secara masif dan berkelanjutan terkait budaya literasi ini. Berbagai data dan studi terkemuka mengenai budaya literasi di Indonesia menyuguhkan data yang memprihatinkan. Hasil tes Progress International Reading Literacy Study (PIRLS) tahun 2011 yang mengevaluasi kemampuan membaca peserta didik kelas IV menempatkan Indonesia pada peringkat ke-45 dari 48 negara peserta dengan skor 428, di bawah nilai rata-rata 500 (IEA, 2012). Sementara itu, survei yang mengevaluasi kemampuan peserta didik berusia 15 tahun dilakukan oleh Programme for International Student Assessment (PISA) yang mencakup membaca, matematika, dan sains. Peserta didik Indonesia berpartisipasi dalam PISA 2009 dan 2012 yang keduanya diikuti oleh 65 negara peserta. Khusus dalam kemampuan membaca, Indonesia yang semula pada PISA 2009 berada pada peringkat ke-57 dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 493), ternyata pada PISA 2012 peringkatnya menurun, yaitu berada di urutan ke-64 dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 496) (OECD, 2013). Data ini selaras dengan temuan UNESCO (2012) terkait kebiasaan membaca masyarakat Indonesia, bahwa hanya satu dari 1.000 orang masyarakat Indonesia yang membaca!

Kondisi demikian ini jelas memprihatinkan karena kemampuan dan keterampilan membaca merupakan dasar bagi pemerolehan pengetahuan. Literasi tidak terpisahkan dari dunia pendidikan. Literasi menjadi sarana peserta didik dalam mengenal, memahami, dan menerapkan ilmu yang didapatkannya di bangku sekolah. Literasi juga terkait dengan kehidupan peserta didik, baik di rumah maupun di lingkungan sekitarnya.

Budaya Literasi dan Buku Sastra

Gerakan Literasi Sekolah sebagai sebuah program rasanya sudah performed. Rancang bangun program ini diisi dengan berbagai panduan yang disesuaikan dengan tingkat Pendidikan mulai dari SD hingga SMA. Berbagai panduan teknis dan substantif mempermudah bagaimana program ini dijalankan di lapangan. Didukung public campaign yang cukup masif, distribusi informasi mengenai Gerakan Literasi secara umum ke seluruh pelosok daerah mungkin dapat dicapai dengan optimal.

Sebagai sebuah pedoman pelaksanaan di lapangan, panduan gerakan literasi mencakup berbagai aspek dasar bagaimana pengembangan sebuah program harus dijalankan. Jika ada yang masih kurang, rasanya adalah semacam keberanian untuk meyakini pada pilihan buku yang sebaiknya dibaca oleh siswa. Panduan yang disusun sudah memberi rambu-rambu mengenai buku yang tepat untuk dibaca oleh siswa. Dalam peta kompetensi literasi siswa SD (pada tahap komunikasi) diharapkan agar siswa mampu mengartikulasikan empati terhadap tokoh cerita dan seterusnya siswa didorong untuk mampu berpikir kritis dengan tolok ukur mampu memisahkan fakta dan fiksi. Pada titik ini alangkah baiknya, misalnya, eksplisit disebutkan agar guru dan siswa diarahkan serta menyediakan diri dan waktu untuk membaca karya karya sastra terkemuka tanah air.

Membaca sastra menjadi penting karena akan mempertemukan pengalaman pembaca dengan pengalaman yang ada dalam teks sastra tersebut. Membaca karya sastra adalah kesempatan untuk memperjumpakan pengalaman siswa seperti kegembiraan, kesedihan, harapan dan sebagainya yang pada akhirnya akan secara efektif menyentuh aspek emotif dan afektif siswa.

Catatan untuk ekosistem membaca dan menulis siswa

Pada suatu tahapan, kita perlu meyakini bahwa penulis buku belum selesai dengan karyanya, meski buku sudah tersusun dan dicetak. Sebagaimana yang diyakini oleh Joseph Conrad dalam Orientierung (Sindhunata: 2004), pengarang atau penulis buku sesungguhnya hanya menulis separuh buku, separuh lainnya harus diambil alih oleh pembaca. Peran "separuh" ini bisa dimainkan oleh para siswa dan guru dengan menjadikan buku bacaan sebagai karya yang "belum purna". Masih tersedia ruang untuk siswa mereproduksi informasi dari buku-buku tersebut kedalam instrumen tugas harian misalnya. Siswa sedemikian rupa didorong untuk berani berinteraksi dengan buku. Dan jika buku-buku tersebut sebagiannya adalah berupa buku sastra, maka kegiatan membaca, berdialog setelahnya, bahkan menulis atas dasar bacaan tersebut, dapat dibayangkan sebagai sebuah taman belajar yang penuh suka cita didalamnya. Oleh karana itu, kita harus bisa mengondisikan membaca sebagai sebuah dialog yang mengasyikkan karena membaca pada dasarnya bukan hanya bagaimana memasukkan teks dan makna teks ke dalam diri kita melainkan juga bagaimana mendialogkan diri dengan teks itu sendiri; dialog itu menjadi mungkin karena kita semua hadir di depan teks dengan berbekal pengalaman diri masing-masing yang bisa berupa hal-hal yang menggembirakan ataupun malah sebaliknya. Yang terjadi kemudian, berdasar pengalaman masing-masing, bisa saja siswa bersepakat dengan buku yang dibacanya mengenai tema atau makna yang dikandung dalam buku tersesbut atau, sebaliknya, bersungut karena isi buku tersebut tidak sesuai dengan apa yang ada dalam pengalamannnya. Mari kita letakkan bersepakat ataupun bersungutnya siswa ini menjadi bagian dari munculnya respon positif dari status literat siswa.

Mengapa demikian? Kita harusnya meyakini disinilah pergulatan kreatif siswa dan guru dalam mengembangkan budaya membaca sesungguhnya bermula. Ketika membaca adalah berupa keasyikan dan kegembiraan itu sendiri, maka proses kreatif terbuka untuk berjalan. Pengalaman-pengalaman diri yang ada dalam masing-masing siswa dan hasil bacaan terhadap buku sastra memberi peluang pada siswa untuk mengkritisi perspektif diri dan sosial kemasyarakatan. Pada titik ini penting menyinggung apa yang ditawarkan Hernowo sebagai upaya untuk "mengikat makna" (Hernowo:2005).

Mengikat makna dimaksudkan sebagai upaya menulis yang diyakini akan melatih pikiran lebih tertata dengan baik, mampu mendorong siswa untuk merumuskan diri, mengikat dan mengonstruksi gagasan. Menulis juga diyakini sebagai upaya konstruktif untuk membantu bekerjanya imajinasi dan menyebarkan pengetahuan. Pada siswa, menulis sebagai upaya lebih lanjut dari bacaan teks sastra adalah mengenai bagaimana berlatih menjelaskan dan mengemukakan pengalaman diri menghadapi teks sastra sebagai dialog personal. Tugas seperti ini bukanlah soal salah dan benar dari apa yang dikerjakan siswa, karena ini adalah persoalan bagaimana guru mendorong siswa untuk mengembangkan imajinasinya. 15 menit pembiasaan membaca sebelum jam pelajaran dimulai (sebagaimana afirmasi yang terdapat dalam Gerakan Literasi Sekolah) ,atau waktu- waktu lain yang dikompromikan guru dan siswa untuk membaca, eloknya juga mampu mewadahi waktu-waktu menulis siswa, membiarkan dan membantu mereka "mengikat" pengalaman diri dan hasil dialog dengan buku dalam bentuk tulisan, sesederhana apapun.

Tulisan seadanya ini hanya sebuah pengantar karena sesunggunhya literasi sebagai sebuah wacana pasti sudah ada dalam konstruksi pikiran kita semua, demikian juga kebijakan tentang sarana prasarana lebih jauh lagi adalah anggaran yang memungkinkan buku dan perpustakaan menjadi bagian integral pengembangan lembaga di semua level. Tapi sebagai pengantar, terasa benar budaya literasi sebagai sebuah kesadaran bersama, entah kebijakan maupun best practises pada lembaga pendidikan Islam, masih belum terasa ghirahnya. Maka, pertanyaan yang patut diajukan adalah: apa kabar budaya literasi pada lembaga pendidikan Islam?

Wallahu a`lam
(Saiful Maarif, Bekerja pada Ditjen Pendidikan Islam)


Tags: