Seleksi Calon Mahasiswa Timur Tengah HArus Lebih Selektif

Seleksi Calon Mahasiswa Timur Tengah HArus Lebih Selektif

Berbicara tentang Mesir, tentu kita tidak bisa lepas dari sejarah negeri berusia ribuan tahun dan Mesir sudah eksis jauh sebelum Islam lahir. Mesir dikenal sebagai negeri para nabi karena seperti yang tertulis di Al Quran, nabi Musa dan Harun lahir di Mesir, dan sebelum era nabi Musa dan Harun, banyak nabi-nabi lain yang pernah singgah dan tinggal di Mesir.

Di sisi lain, Mesir juga sangat menarik untuk pendidikan, karena disana berdiri sebuah kampus pendidikan tertua yang menjadi kiblat Pendidikan Islam dunia yaitu “Al Azhar University” sehingga tidak heran kalau setiap tahun, ribuan calon mahasiswa Indonesia ingin kuliah di Alzhar.

Jika kita kembali ke isu-isu terkini terkait belajar dan kuliah di Mesir, tentu kita tidak boleh melihat dari satu sisi saja, tapi perlu juga didalami dari sisi yang lain dan kendala serta tantangan yang akan dihadapi selama masa pendidikan di Mesir.

Isu krucial yang berkembang saat ini, seolah-olah Kementerian Agama, terutama Direktorat Jenderal Pendidikan Islam membatasi orang-orang yang ingin belajar Ke Mesir (Al-Azhar) dengan mensyaratkan setiap pelajar yang ingin kuliah di Al-Azhar, “wajib ikut seleksi” dan “membawa rekomendasi” dari Dirjen Pendidikan Islam.

Masyarakat merasa, bahwa seleksi dan rekomendasi yang di wajibkan oleh Kementerian Agama akan menyulitkan dan membatasi keinginan para pelajar Indonesia untuk belajar di Mesir, padahal intinya bukan hal itu, seleksi dan rekomendasi, adalah salah satu cara Kementerian Agama untuk melindungi warganya karena dengan seleksi dan rekomendasi, maka keberadaan mereka tercatat dan tentu saja akan dilindungi, karena mereka membawa nama baik bangsa Indonesia sebagai duta-duta negara. 

Seleksi ini sangat dibutuhkan agar pelajar dan calon mahasiswa yang dikirim adalah mereka yang punya potensi ke ilmuan dan wawasan kebangsaan wasathiyah yang jelas.

Di lain pihak, Kementerian Luar Negeri juga berkepentingan untuk mendata dan mengawasi setiap warga Indonesia yang melakukan perjalanan ke luar negeri baik sebagai turis ataupun belajar, dan Kemenag selalu berkoordinasi dengan Kemenlu terkait semua proses pemberangkatan pelajar ke luar negeri termasuk menentukan negara-negara yang akan didatangi sebagai tujuan belajar.

Kemenlu juga menentukan negara mana saja yang boleh dan tidak boleh didatangi untuk belajar (green zone and redzone) terutama untuk wilayah timur tengah dan Afrika, karena situasi keamanan setiap negara berbeda-beda.
Mesir adalah negara bebas, semua orang bebas datang ke Mesir sehingga kemudahan ini menjadi peluang bagi mereka-mereka yang punya keinginan untuk datang ke Mesir tapi tidak lolos seleksi dan tidak memiliki rekomendasi, sehingga akhirnya mereka menggunakan jalur illegal termakan bujuk rayu mediator (calo), dan kondisi ini masih berlangsung sampai saat ini. 

Disinilah fungsi rekomendasi, yaitu memisahkan antara mereka yang resmi dengan mereka yang datang secara gelap. Intinya, mereka yang punya rekomendasi Direktur Jenderal Pendidikan Islam adalah orang-orang yang sudah clear dari sisi potensi keilmuan dan wawasan kebangasaan.

Dari informasi Kemenlu (KBRI Indonesia di Cairo-Mesir), sampai saat ini sudah tercatat sudah lebih dari 8.000 (delapan ribu) orang mahasiswa Indonesia yang belajar di Mesir dan pada umumnya kuliah di Al Azhar dan ini menjadi tugas yang cukup berat bagi pemerintah (Kemenlu dan Kementerian Agama) untuk melakukan pengawasan.

Banyak sekali persoalan-persoalan yang muncul, antara lain, 
Rendahnya angka kelulusan dari mahasiswa Indonesia di Alzhar, dari sekitar 1500 orang yang datang dan kuliah di Al Azhar, hanya 350 orang saja yang lulus setiap tahunnya (KBRI Cairo report 2019) sehingga setiap tahun terjadi penumpukan Mahasiswa Indonesia di Mesir, maka untuk tahun-tahun mendatang, seleksi CAMABA (calon Mahasiswa Baru) harus dilakukan secara lebih selektif.

Jumlah Mahasiswa Indonesia yang ada di Mesir saat ini sudah melebihi daya tampung dan kesiapan hunian, sementara harga sewa yang kian naik dan tidak sebanding dengan kemampuan finansial mahasiswa.
Timbulnya berbagai kasus Kriminal, pelecehan seksual dan masalah sosial dan lainnya yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir seiring bertambahnya jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di Mesir;

Pemerintah tidak bermaksud untuk melarang atau mencegah minat masyarakat Indonesia untuk belajar dan kuliah ke Mesir, akan tetapi mereka yang datang ke Mesir, apapun kondisinya berhak untuk mendapatkan perlindungan dan pembinaan yang tepat dan optimal dari Perwakilan Republik Indonesia.

Masa pandemi Covid-19 yang berdampak terhadap kondisi sosial, ekonomi dan keamanan di Mesir berkontribusi terhadap bertambahnya kasus-kasus baru dalam perlindungan dan pembinaan terhadap WNI khususnya pelajar dan mahasiswa di Mesir karena bantuan sosial belum bisa mengcover kebutuhan bantuan sosial karena keterbatasan anggaran;
Tahun 2020, Kementerian Agama tidak melaksanakan seleksi calon mahasiswa Al-Azhar karena pandemi Covid-19 sesuai dengan hasil kesepakatan dan rapat antara Organisasi Internasional Alumni Al Azhar (OIAA), Kemenlu dan Kementerian Agama, agar tahun 2020 tidak melaksanakan seleksi untuk ke Timur Tengah akan tetapi PUSIBA (Pusat Studi Islam dan Bahasa Arab) – (OIAA) Cabang Indonesia tetap melaksanakan seleksi;

Jalur beasiswa baik melalui Kemenag tahun 2019 lalu sampai saat ini masih belum bisa diberangkatkan karena kendala tiket, makanya untuk tahun 2020, Direktur PTKI menolak bantuan beasiswa untuk mahasiswa baru ke Al Azhar karena masih dalam masa pandemic COVID 19 dan mahasiswa penerima beasiswa tahun 2019 saja belum diberangkatkan oleh Al Azhar.

Meskipun Al-Azhar membuka jalan lebar-lebar untuk belajar, namun kita perlu menetapkan prioritas yaitu KUALITAS adalah yang utama. Lebih baik mengirimkan duta-duta bangsa dalam jumlah yang sedikit tapi berkualitas dari pada banyak tapi kurang bernilai.

Zulfakhri Sofyan
Kasi Kerjasama Dit. PTKI


Tags: