Sertifikasi Guru Harus Jujur

Sertifikasi Guru Harus Jujur

AKIBAT diduga banyak kecurangan dan manipulasi, sertifikasi guru (hendak) diperketat pemerintah. Pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Prof Dr Mohammad Nuh di Jakarta (KR, 25/10) tersebut, benar-benar membuat perasaan miris. Substansi dari permasalahan sertifikasi, ternyata bukan pada aspek administrasi dan kewajiban budget negara. Namun pada aspek etika dan moral. Suatu titik permasalahan yang paling dasar bagi dunia pendidikan.
Sertifikasi guru yang dianggarkan Rp 64 triliun dimaksudkan untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru dan dosen. Secara awam, hal ini untuk memperbaiki kualitas pendidikan. Selama ini, kritis terhadap dunia pendidikan selalu menunjuk pada rendahnya kompetensi dan profesional tenaga pendidik. Oleh karena itu, melalui program sertifikasi diharapkan menjadi short cut — untuk segera melihat secara personal guru/dosen yang kompeten dan profesional. Jika hal itu memiliki konsekuensi keuangan, seharusnya sejak awal dimaknai sekadar stimulan. Bukan tujuan utama sertifikasi.
Dalam kenyataannya, para guru/dosen yang lolos sertifikasi, mendapatkan sejumlah uang yang kebanyakan bukan untuk up grade kompetensi - misal sekolah atau kursus. Namun untuk hal-hal yang konsumtif, seperti membeli kendaraan bermotor yang menjadi simbol eksistensi atau kesejahteraan. Tentu saja pengelolaan atas imbalan tersebut merupakan hak personal. Akan tetapi pilihan pemakaian dana, dapat dijadikan ukuran ‘kecerdasan emosional’ seseorang untuk menempatkan skala prioritas.
Apa yang sudah terjadi, memang layak dievaluasi. Rencana pengetatan sertifikasi pastinya merupakan upaya untuk mengefektifkan pencapaian, yakni didapatkan guru/dosen yang benar-benar mumpuni. Jika selama ini sertifikasi hanya dilakukan dengan proses pemeriksaan dokumen portofolio dan proses Pendidikan dan Latih Profesi Guru (PLPG). Cara ini memang memungkinkan ‘lubang-lubang’ manipulasi yang akan merupakan jalan terjadinya kecurangan. Bahkan bagaimana cara melakukan manipulasi dan kecurangan, pun sudah diketahui umum. Kalau mau jujur, ada pihak-pihak yang sudah siap dengan jasa untuk memanipulasikan dokumen. Pihak-pihak ini bekerja seperti jaringan mafia.
Apa yang akan menjadi ukuran baru dalam proses sertifikasi? Seyogianya segera disosialisasikan secara transparan. Diharapkan, model penjaringan/penyaringan sertifikasi yang baru juga diikuti dengan semangat kejujuran dari para peserta. Sebab faktor etika-moral yang tercermin dalam sikap jujur (kejujuran) adalah dasar dan ruh dari pendidikan itu sendiri. Yakni menjadi pendidik yang bermakna meletakkan karakter luhur bangsa. Kualitas pendidikan tidak hanya dilihat dari tingginya nilai hasil ujian yang bersifat kognitif. Tetapi harus mampu memberikan kecerdasan afektif - berupa kecerdasan sosial dan emosional - yang akan menjadi bekal dalam berperilaku (behaviour).
Sekali lagi, sertifikasi hanya salah satu jalan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sertifikasi juga tidak boleh dilandasi niat mendapatkan kompensasi finansial. Harus dilaksanakan secara jujur dan konsekuen. Sertifikasi harus pula menjadi mata rantai kejujuran yang akan berimbas pada meningkatnya kualitas pendidikan karakter bangsa yang jujur dan bermartabat. q - o


Tags: