Transaksi Nontunai, Siapa Takut?

Transaksi Nontunai, Siapa Takut?

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 3 menyebutkan bahwa pengelolaan keuangan negara harus didasarkan pada prinsip efektivitas, efisiensi, ekonomis, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Dalam rangka memenuhi amanat tersebut, salah satu upaya Kementerian/Lembaga Negara sebagai pengguna Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) adalah melakukan transaksi nontunai sebagaimana diinstruksikan oleh Presiden lewat Inpres Nomor 10 Tahun 2016. Kementerian Agama merupakan satu dari lima kementerian yang mempunyai alokasi anggaran terbesar di tahun 2017. Terkait dengan transaksi nontunai, Kementerian Agama segera melakukan implementasi dengan mengeluarkan Surat Edaran Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2017 tentang Transaksi Pembayaran Nontunai. Surat edaran ini menyebutkan bahwa pelaksanaan transaksi nontunai pada Kementerian Agama dilaksanakan paling lambat tanggal 1 januari 2018.

Secara umum pengertian transaksi nontunai adalah transaksi dimana pembayaran dilakukan tanpa menggunakan uang fisik baik uang kertas ataupun uang logam. Transaksi nontunai pada dasarnya memiliki tiga bentuk yaitu paper based (misal cek, bilyet giro), card based (misal kartu kredit, kartu debit) dan electronic based (e-money). Transaksi nontunai sebenarnya telah diperkenalkan oleh Pemerintah kepada masyarakat sejak 30 tahun lalu melalui Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan. Keppres ini memperkenalkan masyarakat bertransaksi menggunakan kartu kredit dan kartu debit. Meskipun telah diperkenalkan sejak tahun 2007 penggunaan uang elektronik baru menunjukkan trend kenaikan mulai tahun 2010. Kanopi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB-UI) mencatat bahwa penggunaan uang elektronik sebagai alat transaksi mengalami perkembangan yang sangat signifikan, dimana pada tahun 2009 nilai transaksi mencapai angka 5 miliar rupiah dan di tahun 2013 sudah mencapai angka 30 triliun rupiah. Untuk lebih meningkatkan penggunaan transaksi nontunai, tanggal 14 Agustus 2014 Bank Indonesia (BI) meluncurkan program bernama Gerakan Nasional Nontunai (GNNT). Upaya ini membuahkan hasil, minimal dengan melihat data dari Kanopi FEB-UI yang mencatat pengguna uang elektronik yang meningkat cukup signifikan. Pengguna uang elektronik di tahun 2014 baru sejumlah 35 juta pengguna, di tahun 2017 angka ini meningkat tajam menjadi 68 juta pengguna.

Lalu mengapa pemerintah berupaya mendorong penggunaan transaksi nontunai? Setidaknya ada empat hal yang ingin dicapai pemerintah dalam penggunaan transaksi nontunai. Alasan pertama adalah terkait dengan isu efektivitas. Sebagai contoh kecil adalah kasus pembayaran di gerbang tol. Pengguna uang elektronik rata-rata hanya menghabiskan waktu 2-3 detik dalam bertransaksi, sedangkan pembayar tunai membutuhkan waktu 3x lipat yakni rata-rata 8-9 detik/transaksi. Hal lain yang ingin dicapai oleh Pemerintah adalah efisiensi penyaluran belanja, terutama dalam penyaluran belanja bantuan sosial (bansos). Direktur Departemen Pengawasan dan Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia, Pungky Purnomo Wibowo menyampaikan bahwa Pemerintah bisa melakukan penghematan sekitar 800 miliar rupiah per bulan ketika melakukan penyaluran bansos secara nontunai. Jika mekanisme ini dipertahankan, maka dalam satu tahun anggaran pemerintah bisa melakukan efisiensi belanja APBN sebesar 9,6 triliun rupiah. Faktor keempat yang ingin dicapai pemerintah adalah di sisi makro ekonomi. Penggunaan transaksi nontunai akan meminimumkan terjadinya kejahatan lewat perbankan misalnya kejahatan terkait dengan pencucian uang/money laundry. Smart society adalah target terakhir pemerintah dalam mendorong penggunaan transaksi nontunai di Indonesia. Rilis studi Forex Bonuses mengungkapkan salah satu ciri negara maju adalah banyak atau sedikitnya masyarakat yang mengunakan transaksi nontunai. Jadi dapat disimpulkan bahwa smart society identik dengan negara maju. Studi ini juga mengungkap 5 (lima) negara pengguna nontunai terbesar di tahun 2017 yaitu Kanada, Swedia, Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat.

Hal yang perlu diingat bahwa penerapan transaksi nontunai di Indonesia tidak ditujukan untuk menggantikan 100% keberadaan transaksi tunai, namun sebagai sebuah sistem yang saling melengkapi. Satu sisi penerapan nontunai di lembaga pengguna APBN harus mendapatkan dukungan semua pihak, di sisi lain juga harus dibarengi dengan diciptakannya sebuah mekanisme/prosedur handal. Prosedur/mekanisme ini harus mampu menggabungkan dua unsur yaitu kecepatan transaksi nontunai dan efisiensi rantai birokrasi. Apabila mekanisme ini mampu diciptakan, maka ketakutan akan tertundanya konsumsi akibat terlambatnya uang yang masuk rekening sebagai akibat panjangnya rantai birokrasi menjadi tidak relevan.

Doni Wibowo
Pecinta Data dan Pemerhati Masalah Sosial


Tags: