Bandung (Pendis) - Dalam catatan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Negara Indonesia masih membutuhkan 150-ribuan profesi arsiparis, sedangkan arsiparis sekarang ini hanya 3.500-an. Tantangan ini seharusnya bisa di"tangkap" Kementerian Agama khususnya Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam.
"Dengan banyaknya UIN yang telah berkembang pesat mewarnai dunia pendidikan maka sudah sepantasnya Ditjen Pendis membuka program studi Kearsipan dalam rangka menciptakan arsiparis tidak hanya memenuhi kebutuhan internal Kementerian Agama namun juga mengisi kekosongan di semua Kementerian/Lembaga maupun perusahaan di Republik ini," bincang M. Taufik, Deputi Konservasi Arsip ANRI, disela mengisi Workshop Peningkatan Kualitas Tata Persuratan & Tata Kearsipan Ditjen Pendis di Bandung (14/04/2016).
Sebagai informasi, lanjut peraih Doktor dengan Disertasi tentang kearsipan ini, Indonesia dengan 3-ribuan perguruan tinggi, ironisnya hanya 4 kampus yang membuka prodi kearsipan yaitu UI, UGM, UNPAD dan UNDIP, itupun hanya sampai jenjang D-III saja.
"ANRI, lembaga non kementerian yang bertanggungjawab langsung ke Presiden RI juga mempunyai tidak hanya bertugas membina para arsiparis namun lebih dari itu, menciptakan dan mencetak arsiparis dengan bekerjasam dengan semua civitas akademika dan K/L yang mempunyai perguruan tinggi," kata Taufik berapi-api.
Sebenarnya, lanjut arek Malang ini, pembahasan atas kerjasama pembukaan prodi kearsipan sudah dibicarakan dengan Dirjen Pendis periode sebelumnya.
"Melalui pendekatan personal dan kultural sudah disampaikan ke pemangku kebijakan Pendis, bahkan naskah akademik prodi Kearsipan sudah disiapkan. Kami berharap Kemenag bisa menindaklanjuti dengan terlebih dahulu berdiskusi mematangkan konsep agenda besar ini," cetus Eselon I ANRI ini dengan penuh semangat.
Akhirnya, Taufik kembali mengingatkan bahwa merawat naskah dan dokumen negara menjadi tugas bersama anak bangsa terlebih lagi banyak warisan manuskrip intelektual nenek moyang bangsa ini yang bisa dijadikan rujukan akan ilmu pengetahuan.
"Kalau bukan generasi muda sekarang, siapa lagi? Kalau bukan saat ini, kapan lagi merawat dokumen sejarah Indonesia terlebih lagi khazanah keislaman yang tersebar seantero negeri?," tutur Taufik.
(@viva_tnu/dod)
Bagikan: