Bandung (Pendis) - Pendidikan Islam merupakan bagian yang terintegrasi dari sistem pendidikan nasional, termasuk lembaga pendidikan tinggi Islam. Perguruan Tinggi Islam memiliki posisi yang sama dengan Perguruan Tinggi Umum (PTU), sehingga Perguruan Tinggi Islam harus mendapat porsi dan perhatian yang sama dengan PTU. Demikian pernyataan yang disampaikan oleh Amich Alhumami, Ph.D dari Direktorat Pendidikan Kementerian PPN/BAPPENAS saat memberikan materi di hadapan para peserta kegiatan Peningkatan Kapasitas Tenaga Pengelola Pelaporan Pendidikan Tinggi Islam Tingkat PTAIN Tahun 2015, Selasa (20/10/15). Kegiatan ini diselenggarakan oleh Bagian Perencanaan dan Sistem Informasi, Sekretariat Ditjen Pendidikan Islam pada tanggal 19 s/d 22 Oktober 2015 di kawasan Bandung, Jawa Barat.
"Saat ini, lembaga pendidikan tinggi Islam tidak lagi hanya fokus melakukan kajian-kajian keislaman saja, tapi sudah melebihi itu mengikuti kemajuan pemikiran-pemikiran modern dari para intelektual muslim, dan seiring dengan maraknya transformasi kelembagaan perguruan tinggi Islam dari STAIN menjadi IAIN dan dari IAIN menjadi UIN. Saya rasa pencapaian ini perlu diapresiasi", ujar pria berkacamata kelahiran Gresik ini. Amich mengharapkan agar ke depan Perguruan Tinggi Islam harus dapat mengantisipasi kebutuhan mahasiswa-mahasiswanya dalam mengarungi berbagai perubahan sosial dan persaingan global.
Dilihat dari besaran Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi Tahun 2014, kontribusi lembaga pendidikan tinggi Islam terhadap pembangunan sumber daya manusia Indonesia sebesar 2,95% dibandingkan dengan APK Perguruan Tinggi secara nasional sebesar 29,15%. Jadi sekitar 10% peserta didik pada jenjang pendidikan tinggi berada pada Perguruan Tinggi Islam.
"Tantangan masyarakat Indonesia memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sangatlah besar. Untuk dapat bersaing dengan negara-negara ASEAN lain, peran lembaga pendidikan tinggi, termasuk Perguruan Tinggi Islam, sangat dibutuhkan di dalam menyediakan layanan pendidikan tinggi yang berkualitas dan berdaya saing", ujar Amich. "Untuk meningkatkan daya saing perguruan tinggi Islam dapat dilakukan melalui pengembangan prodi, pengembangan kajian dan riset, program kemitraan dengan sektor industri, dan sebagainya," tambahnya.
Dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, Amich menyampaikan masih terdapat beberapa permasalahan. Pertama, permasalahan akses; Akses kelompok masyarakat di dalam memperoleh layanan pendidikan tinggi masih belum merata. Terjadi kesenjangan yang sangat tajam antara kelompok masyarakat yang kurang mampu dengan kelompok masyarakat mampu di dalam mendapat layanan pendidikan tinggi. Tingkat partisipasi kelompok masyarakat mampu dalam memperoleh layanan pendidikan tinggi mencapai 43,6%, sementara kelompok masyarakat kurang mampu hanya sekitar 4,4%.
Kedua, permasalahan minimnya publikasi ilmiah dosen; Dosen-dosen di Indonesia secara umum masih kalah bersaing di dalam menghasilkan publikasi ilmiah dibanding dengan dosen dari negara-negara lain, seperti Malaysia dan Singapura. Hal ini dikarenakan minimnya dukungan anggaran untuk melakukan riset dan kajian ilmiah.
Ketiga, penguasaan IPTEK yang masih lemah; Indonesia dinilai terlalu banyak memiliki ahli sosial dibanding dengan ahli teknik. Salah satu contohnya, dapat dilihat dari perbandingan jumlah mahasiswa Fakultas Saintek di UIN Syahid Jakarta yang hanya 11,5% dari sekitar 23 ribu mahasiswa aktif UIN Syahid Jakarta.
Di akhir paparannya, Kasubdit pada Direktorat Pendidikan BAPPENAS ini meminta agar setiap Perguruan Tinggi Islam harus menegaskan keunggulannya, sehingga masing-masing Perguruan Tinggi Islam akan memiliki ciri khasnya masing-masing.
(dod/dod)
Bagikan: