Tatang Astarudin Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia
Pondok pesantren merupakan model lembaga pendidikan yang memiliki kekhasan dalam mentransmisikan dan menginternalisasikan nilai-nilai moral serta spiritual kepada para santri dan masyarakat sekitarnya. Karena keunggulan ini, pesantren sering disebut sebagai local genius dalam pendidikan nasional.
Namun, pesantren bukan sekadar institusi pendidikan. Sejarahnya diwarnai dengan perlawanan terhadap penjajahan, pembelaan terhadap kaum marginal (wong cilik), serta kisah-kisah ketahanan dalam menghadapi berbagai tantangan. Kemandirian pesantren telah terbukti sejak lama, berkembang dan bertahan tanpa ketergantungan pada pihak eksternal.
Fondasi Kemandirian Pesantren
Kemandirian pesantren berakar pada nilai-nilai yang dianut oleh komunitasnya. Prinsip utama dalam asta jiwa pesantren adalah keikhlasan dan kemandirian. Nilai-nilai ini membentuk fondasi kuat yang memungkinkan pesantren bertahan melewati berbagai rintangan zaman.
Selain itu, pesantren juga memiliki modal sosial dan modal kapital yang menjadi penopang keberlanjutan. Kepemimpinan kiai, dedikasi santri, serta jaringan sosial yang luas menjadikan pesantren sebagai ekosistem yang mandiri.
Clifford Geertz, antropolog Amerika dalam The Religion of Java, mengungkapkan bahwa santri memiliki etos bisnis yang lebih kuat dibandingkan kelompok lain di Indonesia. Mereka diprediksi menjadi elite ekonomi nasional. Meski pendapat ini perlu dikaji ulang di era modern, tidak bisa dimungkiri bahwa pesantren memiliki potensi besar dalam dunia usaha dan ekonomi.
Saat ini, Indonesia memiliki lebih dari 41.220 pesantren dengan hampir 5 juta santri. Jumlah ini bukan sekadar statistik, tetapi mencerminkan potensi besar dalam mencerdaskan bangsa dan berkontribusi pada sektor ekonomi, termasuk penyerapan tenaga kerja. Bahkan, di beberapa daerah, episentrum aktivitas ekonomi berpusat di sekitar pesantren.
Namun, tidak semua pesantren berada dalam kondisi yang sama. Sebagian telah berkembang pesat dengan ribuan santri dan membuka cabang di berbagai daerah. Sementara itu, banyak pesantren masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan operasional, bergantung pada bantuan sporadis dari pihak eksternal.
Strategi Penguatan Kemandirian Pesantren
Agar pesantren semakin mandiri dan berkelanjutan, beberapa strategi dapat diterapkan:
Mempertahankan Nilai Dasar Pesantren
Pesantren harus terus menjaga ruh al-ma’had—jiwa pesantren—yakni keikhlasan dan kemandirian. Para kiai terdahulu membangun pesantren dengan penuh pengorbanan tanpa pamrih, dan semangat ini harus tetap dijaga. Keberkahan serta daya tahan pesantren lahir dari ketulusan dalam mendidik dan membimbing santri.
Memperkuat Modal Sosial
Pesantren berkembang dengan dukungan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, hubungan erat dengan warga harus terus dipelihara. Jika pesantren dan masyarakat saling bersinergi, jaringan sosial yang terbentuk akan menjadi kekuatan besar bagi keberlanjutan pesantren.
Meningkatkan Modal Kapital dan Operasional
Modal kapital pesantren mencakup aset tetap, seperti tanah dan bangunan, yang harus dikelola secara produktif. Banyak pesantren berdiri di atas tanah wakaf, dan keberlanjutannya bergantung pada pengelolaan yang visioner.
Salah satu langkah strategis adalah menginisiasi gerakan wakaf uang dan gerakan wakaf melalui uang. Wakaf uang dapat menjadi dana abadi (endowment fund) untuk mengoptimalkan aset tetap pesantren. Wakaf melalui uang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana pesantren.
Potensi filantropi pesantren sangat besar, tidak hanya dari santri dan alumni, tetapi juga dari masyarakat yang memiliki keterikatan emosional dengan pesantren.
Selain itu, ekosistem ekonomi pesantren dapat dikembangkan lebih jauh, mencakup sektor pangan, pakaian, pendidikan, kesehatan, jasa keuangan, hingga travel. Untuk itu, pesantren perlu bertransformasi dari social ecosystem menjadi business ecosystem tanpa kehilangan nilai-nilai etiknya. Jika dilakukan dengan baik, pesantren bukan hanya pusat pendidikan, tetapi juga lokomotif kesejahteraan bagi masyarakat sekitarnya.
Menguatkan Jejaring dan Kesadaran Ekosistem Pesantren
Dengan jumlah yang besar, pesantren dan santrinya adalah aset nyata yang bisa menjadi kekuatan riil.
Konsep Dana Abadi Pesantren bukan sekadar impian jika komunitas pesantren bersatu dalam Gerakan Wakaf Uang.
Jika setiap pesantren (41.220 pesantren) menyisihkan Rp1 juta per bulan untuk wakaf, dana abadi yang terkumpul mencapai Rp41,22 miliar setiap bulan.
Jika 1 juta santri dari 5 juta santri berwakaf Rp1 juta per bulan, dana yang terkumpul mencapai Rp2,5 triliun setiap bulan—belum termasuk dari alumni dan masyarakat.
Jumlah ini bukan sekadar angka, tetapi simbol posisi tawar dan kemandirian pesantren. Untuk mewujudkannya, diperlukan perubahan paradigma serta strategi yang dapat menggugah kesadaran dan membangun aksi kolektif komunitas pesantren.
Kemandirian pesantren bukan hanya soal bertahan hidup, tetapi juga tentang membangun masa depan. Dengan mempertahankan nilai-nilai keikhlasan dan kemandirian, mengelola modal sosial dan ekonomi secara strategis, serta memperkuat jejaring kerja, pesantren dapat berkembang menjadi pilar pendidikan dan kesejahteraan bagi bangsa.
Mewujudkan pesantren yang mandiri bukanlah hal mudah, tetapi dengan niat tulus dan kerja kolektif, bukan pula sesuatu yang mustahil. Insya Allah
Bagikan: