Malang (Pendis) - Disela-sela perhelatan PIONIR IX 2019 di Kampus UIN Maulana Malik Ibrahim Malang (Maliki), 3 ribu-an peserta dan official bersholawat bareng. Bertempat di halaman kampus, terlihat juga warga sekitar dan segenap sivitas akademika UIN Maliki, Kamis (18/07) malam.
Diawali dengan pembacaan sholawat barzanji dengan diiring rebana dari dosen muda tuan rumah, peserta diajak larut memanjatkan pujian kepada Baginda Rasulullah SAW. Hadir ditengah-tengah jama`ah, Kyai Ahmad Muwaffiq, yang lebih akrab dikenal sebagai Gus Muwaffiq. Tampak hadir pula Rektor UIN Maliki, Abdul Haris, para Rektor dan Wakil Rektor PTKIN, dan sejumlah punggawa Kementerian Agama RI.
Tidak cukup dengan senandung sholawat, lagu-lagu khas nusantara yang penuh sarat dengan makna juga turut didendangkan. Lagu "Sluku-Sluku Bathok", "Suket Teki", "Ilir-Ilir", dan lagu cinta tanah air "Ya Lal Wathon" menambah semarak acara "PTKIN Bersholawat" pada malam itu.
Gus Muwafiq, dalam orasinyanya di hadapan para peserta PIONIR yang merupakan generasi muda Islam penerus bangsa, membakar semangat kebangsaan dan ke-Indonesiaan. "Negara-negara yang dekat dengan turunnya Islam dan di situ ada para Nabi, terutama Nabi Muhammad SAW, yang berbangsa satu yaitu bangsa Arab sampai sekarang belum pernah merasakan persatuan dan kedamaian, perang dan bertikai antar ras dan golongan. Sedangkan Indonesia yang berjuta suku, bahasa, dan golongan hidup dengan persatuan dan saling tolong menolong," ungkap alumnus PTKIN, UIN Sunan Kalijaga ini.
Di satu sisi, mantan demonstran `98 ini juga mengusik generasi Islam untuk terus memperjuangkan tidak hanya Islam sebagai agama akan tetapi Islam sebagai gerakan perubahan. "Kalau ada ungkapan al Islamu Yu`la wala Yu`la alaih, lantas apakah sekarang Islam sudah lebih tinggi dengan bangsa dan peradaban agama lain? Siapa yang menciptakan pesawat? Sistem perbankan mana yang diterapka di dunia? Perbankan Islam, syariah atau perbankan konvensional?" gelitik angkatan 1994 Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga ini.
Menyoroti fenomena fanatisme yang berkembang di Indonesia, Gus Muwafiq kembali menegaskan bahwa ber-Islam di Nusantara harus siap menerima perbedaan. "Tidak hanya perbedaan agama yang merupakan sunnatullah namun juga perbedaan politik itu merupakan anugerah, yang penting kemudian bersatu untuk Indonesia tercinta. Jangan seperti pasca arbitrase atau disebut dengan tahkim antara Bani Umayyah dan Sahabat Ali yang berakhir damai namun kemudian ada pengikut yang tidak puas dengan kedamaian yang akhirnya berujung adanya Kaum Khowarij," cetus arek Jawa Timur ini.
Senada dengan Gus Muwafiq, Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim juga menyampaikan bahwa kita harus bersyukur hidup di negeri yang berdaulat yaitu Indonesia. "Marilah kita saling menggenggam tangan dan merapatkan barisan serta menatap ke depan bahwa di depan ada tantangan yang harus dihadapi bersama dengan melupakan perbedaan," kata Abdul Haris. (maspipo/dod)
Bagikan: