Jakarta (Pendis)- Konferensi sarjana muslim yang digelar di Jakarta pada 1 hingga 4 Oktober 2019 mengungkap temuan menarik terkait kehidupan beragama di negara-negara berpenduduk muslim, termasuk Indonesia.
Pada penutupan sidang The 19th Annual International Conference On Islamis Studies (AICIS) 2019, forum ini memperingatkan, era disrupsi teknologi yang ditandai dengan hadirnya era revolusi Industri 4.0 membawa perubahan signifikan dalam kehidupan beragama.
AICIS adalah forum kajian keislaman yang diinisiasi kementerian Agama RI sejak tahun 2000. Pertemuan para pemikir Islam dari berbagai universitas dunia ini menjadi tempat bertemunya para pemangku kepentingan studi Islam yang diharapkan menjadi barometer perkembangan kajian Islam dunia.
"Teknologi digital membuat pemahaman dan praktek keberagamaan Islam telah berubah secara signifikan," kata Ketua Steering Committee AICIS 2019, Prof. Dr. Nur Chaedi dalam keterangan tertulis yang disampaikan Kamis (3/10).
Saat ini di banyak negara telah mengalami fenomena yang disebut digital islam. Fenomena yang terjadi di negara-negara berpenduduk muslim ini sebagai akibat persinggungan Islam dengan pluralisme dan demokratisasi.
Digital Islam ini telah meniupkan angin baru dalam keyakinan dan praktek, yang seringkali bertentangan dengan otoritas tradisional Islam yang selama ini dominan. Digital Islam tidak hanya mencakup Islam daring, tetapi ini tentang model baru,suara baru, format dan gaya baru yang identik dengan era milenial. "Pada zaman ini telah timbul genre baru yang mengintegrasikan Islam dengan gaya hidup neoliberal," lanjut Nur Chaedi.
Saat ini, para pelaku agama Islam dari berbagai latar belakang telah menampilkan wacana dan diskusi baru yang mengkontekstualisasikan Islam dalam penerapannya di segala bidang. Hal ini membawa implikasi penting yang bersifat positif dan negatif. Di antara pelaku neo Islam ini tidak memiliki akar keagamaan yang baik dan implikasinya memanipulasi simbol-simbol dan ritual keagamaan.
Sebagai perlawanan terhadap hal itu, ulama tradisional kemudian menggunakan platform digital pula untuk menghadang Islam yang demikian itu. Pada saat yang sama, sufisme dan salafisme juga memunculkan diri dengan melabeli diri sebagai Islam yang lebih otentik.
Dalam platform digital yang sama, semua aliran mengekspresikan diri. Maka secara umum agama Islam meraup lebih banyak audiens dan kemudian mendapat legitimasi politik secara lebih kuat.
Dalam lingkup digital Islam, kaum muda rupanya memiliki peran yang lebih besar daripada era sebelumnya. Mereka tampil sebagai trendsetter di lingkup global yang secara faktual mengkontektualisasi Islam dengan gayanya. Hal ini bukan tanpa ekses karena di era digital ini memungkinkan banyak hal buruk terjadi, termasuk diseminasi konservativisme, radikalisme, dan terorisme.
Direktur Pendidikan Tinggi Islam Ditjen Pendidikan islam Kementerian Agama RI, Arskal Salim, mengaku puas dengan hasil sidang AICIS yang diprakarsai Kemenag sejak 19 tahun lalu ini.
Sejauh ini AICIS telah sukses menjadi ajang menuangkan pemikiran studi Islam dari berbagai bidang dan perspektif.
"Tentu saja kami memerlukan diskusi, studi, dan riset lebih lanjut setelah pertemuan ini. Semua ini demi menampilkan Islam moderat sebagaimana visi Kementerian Agama," katanya.
Ia menandaskan, DNA Kementerian Agama adalah Islam moderat. Serangan digitalisasi Islam yang membawa implikasi penyimpangan dan radikalisme harus menjadi perhatian sejak dini. "Saya melihat banyak panel dan paper telah seiring dengan tujuan besar itu,"katanya.
Di zaman yang seperti ini Pendidikan Islam menjadi instrumen penting yang memiliki kapasitas memproduksi dan mentransmisikan pengetahuan studi Islam yang benar kepada generasi muda. Pada saat muslim Indonesia terlibat dalam berbagai cara pemahaman normatif, pendidikan Islam harus memainkan peran penting dalam mengontrol visi generasi uda muslim di masa depan, ucapnya. (Hikmah)
Bagikan: