Oleh: Amiruddin Kuba / Kasi Kemahasiswaan Ditjen Pendidikan Islam
Semenjak kasus pandemi Covid-19 menyebar di sejumlah negara termasuk Indonesia, maka kasus positif Covid-19 pun muncul tak terelakkan secara masif. Kesimpulan hasil klinis pasien positif bervariasi yaitu ringan, sedang dan berat. Untuk status kategori ringan dan sedang, umumnya pasien dapat disembuhkan setelah menjalani isolasi mandiri di rumah, atau isolasi di Rumah Sakit atau terpat tertentut. Sebaliknya, pasien yang bersatus kategori berat memiliki peluang resiko yang berujung pada kematian khusunya pasien yang memiliki latar belakang penyakit kronis.
Kesimpulan hasil pemeriksaan Real-Time PCR SARS Covid-19 apakah positif atau negatif sangat ditentukan oleh seberapa besar nilai CT (Cycle Threshold) yang dimiliki pasien. CT adalah jumlah siklus yang dibutuhkan sampai sinyal fluoresens melewati ambang batas (threshold) sehingga terbaca oleh mesin Real-Time PCR. Nilai CT itu sendiri akan sangat tergantung pada Kit Reagen PCR, Jenis VTM, Jumlah RNA yang dihasilkan saat eksraksi sampel. Setiap kit reagen PCR memiliki ambang batas CT yang berbeda-beda, sehingga nilai CT tinggi dapat menjadi rendah jika diuji dengan kit reagen yang berbeda pula. Adapun ambang batas CT Target Gen ≤ 36. Artinya kalau di bawah ambang batas CT tersebut maka seseorang dapat dikategorikan positif Covid-19.
Nah, salah satu hal dilema di kalangan masyarakat adalah jika seseorang dinyatakan positif terinfeksi Covid-19. Merespon hal ini, terjadi perbedaan perlakuan terhadap pasien Covid-19 di kalangan masyarakat tidak terelakkan. Sebagian masyarakat menganggap hal ini adalah suatu hal biasa dan bahkan memberi dukungan (support) bagi si pasien, namun di saat yang sama tidak sedikit orang yang menganggap status positif covid-19 sebagai momok di masyarakat. Oleh karenanya, tidak jarang seorang pasien mengalami perlakukan yang tidak semestinya seperti dijauhi, dihindari, dicemooh, dianggap penyakit masyarakat dan perlakuan tidak sepantasnya.
Memang menyandang status sebagai pasien Covid-19 tidaklah muda. Oleh karenanya tidak jarang pasien yang dinyatakan postif Covid-19 merasa malu dan berusaha untuk mengasingkan diri serta menganggap sebagai momok di masyarakat atas statusnya. Pengalaman, ketika salah seorang teman menolak untuk memberikan testimoni selama menjalani isolasi di Wisma Atlet. Alasannya, karena dia malu dan bahkan meskipun dia sudah diperbolehkan pulang ke rumah berkumpul dengan keluarganya, dia pun memilih untuk tidak pulang dan mencari tempat pengasingan selama seminggu sebelum ia betul-betul siap hidup di tengah-tengah masyarakat.
Meskipun demikian, sebaliknya justeru sebagian pasien Covid-19 menganggap bahwa status positif yang ia sandang adalah cobaan atau ujian dari sang Maha Pencipta. Bahkan tidak jarang pasien tidak malu memproklamirkan dirinya positif Covid-19 di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, pasien seperti ini menjalani statusnya dengan sabar, tenang, santai dan tanpa beban serta berusaha semaksimal mungkin untuk keluar dari penyakit ini dengan melakukan isolasi mandiri di rumah atau pun ke tempat tertentu seperti Rumah Sakit rujukan. Saya sendiri, setelah divonis positif terinfeksi Covid-19 pada tanggal 7 September 2020, saya memilih untuk mengumumkan status saya dengan cara membuat surat terbuka untuk masyarakat umum. Dalam surat terbuka tersebut, saya menceritakan bagaimana kronologis hingga saya dinyatakan positif Covid-19. Saya tidak malu, saya justeru mengganggap momen status saya sebagai pasien Covid-19 sebagai teguran, cobaan atau ujian Tuhan untuk hidup lebih baik. Keputusan untuk memproklamirkan diri sebagai pasien positif Covid-19 ternyata tidak seburuk apa yang dibayangkan sebagian pasien lain. Saya justeru mendapat banyak dukungan dan doa dari keluarga, tetangga, para pimpinan dan kawan tempat saya bekerja (Kementerian Agama), para sahabat dan para relasi baik dalam maupun luar negeri. Kondisi ini kemudian memberi tambahan vitamin segar buat saya dan meningkatkan kepercayaan diri dalam menghadapi virus ini.
Berstatus sebagai pasien Covid-19 juga menjadikan saya dapat introspeksi diri (self introspection) atau ber-muhasabah dalam menjalani kehidupan. Ada beberapa hal muhasabah dapat dilakukan seperti soal pengamalan ibadah, time management, pola hidup sehat, dan protokol kesehatan. Pertama, pengmalan ibadah. Seringkali, ketika kita dalam kondisi prima atau sehat, pengamalan ibadah kita terbengkalai. Contoh kecil, ketika kita ingin beribadah kita kadang melakukannya dengan terburu-buru dan bahkan meninggalkannya karena sebuah kegiatan. Sholat Sunnah meskipun hanya dianjurkan, jarang kita lakukan. Begitupun dengan ibadah lainnya. Nah, dengan menjalani masa karangtina atau isolasi, kita baru sadar bahwa pengamalan ibadah menjadi sangat penting. Kita baru sadar bahwa ibadah harus dilaksanakan dengan baik karena ia bukan hanya sekedar pekerjaan rutinitas tapi sebuah kebutuhan.
Kedua, time management. Ketika saya isolasi di rumah dan khususnya di Wisma Atlet, kegiatan-kegiatan keseharian sangat teratur. Saya terasa mondok kembali di pondok pesantren dimana segala sesuatunya sudah terjadwal dengan teratur mulai dari waktu makan, waktu tidur, waktu ibadah, waktu olahraga, waktu santai dan waktu untuk kegiatan lain. Di Wisma Atlet, tempat saya isolasi, telah memberikan arti penting untuk introspeksi diri dalam mengatur waktu dengan baik. Apa yang saya rasakan ketika di pondok pesantren dulu (MAPK Ujung Pandang Sulawesi Selatan), kembali saya rasakan di Wisma Atlet. Selama ini, kita sering melupakan manajemen waktu ini. Dengan adanya Covid-19 ini, kita berharap dapat menata ulang kebiasaan buruk dalam memanaj waktu kita.
Ketiga, soal pola hidup. Adanya Covid-19 juga dapat merubah pola hidup kita yang kurang baik selama ini. Kita baru sadar bahwa pola hidup yang teratur sesungguhnya adalah salah satu roh bagi keberlangsungan hidup kita. Melakukan pola hidup khususnya pola makan yang tidak teratur dapat menyebabkan segala sumber penyakit. Pola hidup lain yang tak kalah pentingnya adalah olahraga. Selama ini banyak orang yang acuh dan kurang memperhatikannya termasuk diri saya sendiri. Apalagi sebagai PNS yang harus ke kantor setiap hari dan mengikuti banyak kegiatan. Oleh karena itu, dengan adanya Covid-19 ini, diharapkan pola olahraga dilakukan dengan teratur agar menambah imun untuk mencegah berbagai penyakit.
Keempat, mematuhi protokol kesehatan. Salah satu cara yang ditempuh untuk menanggulagi Covid-19 adalah dengan menerapkan protokol kesehatan. Cara ini telah dterapkan di berbagai negara termasuk di Indonesia. Cara ini dianggap mampu untuk memutus mata rantai Covid-19 asal dilakukan dengan baik. Fakta menunjukkan orang yang menerapkan protokol kesehatan secara ketat pun dapat terinfeksi Covid-19 apalagi jika tidak menerapkannya. Oleh karena itu, mematuhi protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah adalah sesuatu yang harus dipatuhi tidak hanya pada acara formal tapi juga pada acara non formal seperti istirahat, makan, dan kegiatan santai lainnya.
Dengan adanya kasus ini, selaku salah satu pasien Covid-19, saya harus besyukur karena moment ini menjadi sarana dan kesempatan yang luar biasa untuk merubah kebiasaan-kebiasaan buruk saya, baik yang terkait dengan pola pengamalan ibadah, time management, pola hidup sehat, dan protokol kesehatan. Saya tidak jamin, seandainya saya tidak pernah menjadi pasien Covid-19, saya bisa ber-muhasabah seperti saat ini. Oleh karenanya, atas status yang saya sandang sebagai pasien positif Covid-19 saya terima dengan lapang dada dan tidak menganggap sesuatu yang buruk atau momok di masyarakat. Di sisi lain, dalam menjalani isolasi sebagai pasien positif Covid-19, saya justeru menjadikan sebagai sarana untuk memperbaiki diri kearah hidup yang lebih baik dan lebih bermakna. Langkah memproklamirkan diri sebagai pasien postif Covid-19 secara terbuka diharapkan dapat memutus mata rantai penyebaran, menghidarkan korban lebih banyak lagi serta memberi imun positif bagi para pasien Covid-19. Semoga! Wallahu A’lam.
Wisma Atlet Jakarta, 21 September 2020
Bagikan: