Menumbuhkan Cinta Lewat Akar Pendidikan: Refleksi Gerakan Sejuta Pohon Madrasah
Pada 22 April 2025, dunia kembali memperingati Hari Bumi. Di Indonesia, Kementerian Agama mengambil langkah inspiratif: menginisiasi Gerakan Penanaman Sejuta Pohon Matoa dengan melibatkan lebih dari 5.000 madrasah dari seluruh penjuru negeri. Aksi ini bukan hanya sebuah seremoni, tetapi cermin dari transformasi pendidikan madrasah yang lebih menyentuh sisi kemanusiaan—yakni pendidikan berbasis cinta.
Dalam lanskap pendidikan modern, kita terlalu lama terjebak dalam paradigma kognitif: belajar untuk tahu, untuk ujian, untuk lulus. Namun, pendidikan sejatinya adalah proses membentuk manusia seutuhnya: berpikir, merasa, dan bertindak. Dan inilah yang mulai ditapaki madrasah melalui gerakan yang menyentuh akar: menanam pohon, menanam cinta.
Pohon sebagai Simbol Cinta dan Keberlanjutan
Menanam pohon adalah simbol keberlanjutan. Ia tumbuh perlahan, meresap ke dalam tanah, meneduhkan yang lelah, dan memberikan oksigen bagi kehidupan. Ketika ribuan siswa madrasah menanam bibit matoa, mereka sejatinya sedang menanam harapan. Lebih dari itu, mereka sedang mempraktikkan kurikulum cinta—cinta terhadap bumi, terhadap sesama makhluk, dan terhadap masa depan yang lestari.
Dalam ajaran Islam, merawat bumi adalah bagian dari amanah khalifah. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Jika Kiamat tiba, dan di tanganmu ada benih pohon, maka tanamlah itu.” Betapa kuat pesan ini: menanam adalah tindakan cinta paling radikal dalam situasi paling genting sekalipun.
Kurikulum Berbasis Cinta: Bukan Wacana, Tapi Aksi
Kurikulum berbasis cinta bukan sekadar jargon lembut yang nyaman di telinga. Ia adalah pendekatan yang memanusiakan peserta didik. Cinta dalam pendidikan berarti:
- Guru hadir bukan sekadar pengajar, tapi pembimbing jiwa.
- Siswa tidak hanya dikejar target akademik, tetapi juga diarahkan membentuk empati dan akhlak.
- Sekolah bukan hanya tempat belajar rumus, tetapi ruang tumbuh nilai dan kesadaran.
Melalui gerakan menanam pohon, siswa belajar banyak hal secara utuh:
- Tanggung jawab terhadap lingkungan
- Kebersamaan dan kolaborasi
- Kesabaran dalam proses pertumbuhan
- Makna menjaga sesuatu untuk generasi setelahnya
Dan inilah kurikulum cinta itu bekerja: tidak di papan tulis, tapi di tanah. Tidak dalam ujian, tapi dalam tindakan.
Madrasah sebagai Pusat Transformasi Hijau dan Spiritual
Keterlibatan madrasah dalam gerakan ini menunjukkan bahwa lembaga pendidikan berbasis agama bukanlah entitas tertutup. Justru, madrasah kini menjadi pionir dalam isu global seperti perubahan iklim dan pelestarian lingkungan.
Lebih dari itu, madrasah sedang membangun jembatan antara nilai-nilai spiritual dan aksi nyata. Pendidikan Islam tidak dipisahkan dari isu kemanusiaan, keadilan sosial, dan keberlanjutan alam. Dengan mengintegrasikan kurikulum berbasis cinta, madrasah sedang memahat karakter generasi masa depan yang tidak hanya pintar, tapi peduli. Tidak hanya cerdas, tapi lembut hatinya.
Akhir Kata: Mari Menanam, Mari Mendidik
Gerakan Penanaman Sejuta Pohon oleh madrasah bukan sekadar agenda tahunan. Ini adalah titik tolak. Pendidikan harus kembali kepada fitrahnya: membangun manusia yang penuh kasih, empati, dan tanggung jawab.
Mari kita dukung gerakan ini dengan sepenuh hati. Karena ketika satu pohon ditanam, sejatinya kita sedang menyemai cinta. Dan saat cinta tumbuh di hati anak-anak madrasah, masa depan bangsa akan berteduh di bawah rindangnya harapan.
Penulis : Adriansyah, SE, MM (Pegawai Direktorat KSKK Madrsasah)
Tags:
tanampohonBagikan: