Pernahkah kita mengunjungi sebuah madrasah dan mendapati beberapa siswa tumbuh dan berkembang tidak sewajarnya dalam ukuran tinggi badan? Lebih jauh apakah kita tahu bahwa itu adalah gejala stunting --dan pada dasarnya adalah kurang gizi? Apakah kita menganggap itu wajar? Semoga saja tidak, karena jika demikian, maka ada yang salah dalam anggapan kita mengenai hal tersebut. Merujuk Kementerian Kesehatan, pengertian secara umum tentang stunting adalah bentuk dari proses pertumbuhan anak yang terhambat dan berkaitan erat dengan rendahnya kualitas gizi pada penyandang status stunting.
Secara global perlunya meningkatkan kualitas gizi anak dalam konteks pendidikan juga menjadi perhatian serius. Pada Indonesia Development Forum yang dihelat di Jakarta pada Agustus 2017, salah satu sorotan tajam mengarah pada empat faktor utama yang mendorong ketimpangan pada generasi sekarang dan masa depan, salah satunya adalah ketimpangan peluang sejak awal kehidupan sehingga mempengaruhi kualitas sumber daya manusia. Dengan kata lain, jika ketercukupan gizi terjamin, maka kualitas sumber daya manusia kita ke depan bisa diharapkan bersama.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) Kementerian Kesehatan tahun 2015 menunjukkan hal yang kurang lebih sama. Monitoring Kemenkes terhadap Pemantauan Status Gizi (PSG) balita secara nasional menunjukkan 29% balita Indonesia termasuk kategori pendek, dengan persentase terbesar di provinsi Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Barat. Masih dalam analisa Kemenkes, menurut WHO, prevalensi balita pendek menjadi masalah kesehatan masyarakat jika prevalensinya 20% atau lebih. Oleh karenanya, data dari Kemenkes menunjukkan bahwa persentase balita pendek di Indonesia masih tinggi dan merupakan masalah serius yang harus ditanggulangi. Angka prevalensi tersebut terasa lebih mengiris jika disandingkan dengan problem prevalensi yang sama di negara-negara ASEAN. Dibandingkan Myanmar (35%), Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand (16%) dan Singapura (4%), angka prevalensi balita pendek yang merujuk pada rendahnya gizi balita masih yang tertinggi. Jika perlu ditambahkan, Global Nutrition Report dalam laporannya pada tahun 2014 menempatkan Indonesia pada 17 negara, diantara 117 negara, yang memiliki masalah gizi, yakni stunting, wasting, dan overweight pada balita.
Data ini sungguh perlu mendapatkan perhatian bersama setidaknya karena beberapa hal. Pertama, stunting berdampak langsung terhadap kualitas otak anak. Dalam struktur otak anak terdapat sel-sel saraf yang sangat terkait dengan respons anak termasuk dalam melihat, mendengar dan berpikir selama proses belajar. Berbagai penelitian mengenai stunting menyebutkan bahwa setiap kenaikan status gizi anak sebesar 1 SD maka prestasi belajar anak akan naik sebesar 0,444. Begitu pula sebaliknya, setip penurunan status gizi anak sebesar I SD maka prestasi anak akan turun sebesar 0,444. Kedua, ironi data statistik mengenai stunting. Kebijakan masif pembangunan sejauh ini terasa belum menyentuh aspek mendasar dari filosofi pembangunan Sumber Daya Manusia. Tingginya angka prevalensi stunting anak Indonesia dibanding negara tetangga sungguh menghadirkan ironi tersendiri di tengah maraknya pembangunan infrastruktur, misalnya. Geliat pembangunan di berbagai sektor perlu diimbangi -- bahkan perlu upaya pengarusutamaan--peningkatan kualitas gizi anak.
Merespon Nawacita dan Tujuan Global
Data annual report UNICEF 2016 menunjukkan bahwa 37% anak Indonesia mengalami hambatan pertumbuhan. Bisa dibayangkan, hampir separuh anak usia didik mengalami masalah gizi dan terlihat nyata dalam proses tumbuh kembang fisik mereka. Boleh saja kita berharap kelak anak-anak itu akan berkembang, tumbuh, dan menjadi generasi penerus bangsa ini. Namun demikian, apakah cita dan harapan itu dibangun dan disertai dengan dukungan yang memadai terhadap gizi mereka? Jika tidak atau belum, rasanya harapan itu perlu dipertanyakan lebih lanjut.
Dalam Nawacita yang dicirikan tiga hal yakni negara hadir, membangun dari pinggiran dan revolusi mental, disebutkan setidaknya dua hal yang terkait fenomena data tersebut. Pertama, menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara. Kedua, meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
Dalam konteks masalah gizi dan hambatan pertumbuhan anak, substansi Nawacita tersebut merujuk imperasi bahwa tidak boleh ada anak yang kurang gizi dan mengalami hambatan pertumbuhan. Pilihan tegasnya adalah negara harus hadir dan mengatasi masalah tersebut. Bagi 85 juta anak Indonesia, dan tentu saja siswa Pendidikan Islam di dalamnya, visi ini sangat menantang. Kita berada dalam sebuah semangat besar Konvensi PBB tentang Hak Anak yang sudah kita ratifikasi seperempat abad yang lalu, dengan penegasan utama untuk mencapai tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDG). Tujuan global dari semangat bersama ini adalah "dari, oleh, dan untuk semua penduduk bersama" untuk menciptakan dunia yang lebih baik pada 2030. Data UNICEF juga melansir bahwa dari 17 tujuan global, 13 diantaranya sangat relevan dengan anak-anak. Untuk itu, mengdepankan pentingnya kebutuhan-kebutuhan dasar anak menjadi mutlak dalam kebijakan-kebijakan ke depan. Lebih lanjut disebutkan, menurut penelitian Copenhagen Consensus Think Thank, pada setiap satu dollar yang diinvestasiakan pada program pendidikan usia dini akan menghasilkan USD 33. UNICEF menekankan bahwa Nawacita dan SDG harus dimulai dari anak-anak. Memperhatikan dan meningkatkan kualitas gizi dan kesehatan anak dan siswa secara umum rasanya merupakan salah satu konsekuensi imperatif dari semangat Nawacita dan SDG tersebut.
Catatan ke Depan
Stunting dan problem gizi secara umum adalah problem bersama. Secara perspektif, stunting mungkin saja bisa dianggap domain sebagai problem kesehatan an sich. Namun jangan lupa, kondisi kesehatan yang baik berada dalam konteks besar pengembangan diri anak tersebut, dan konteks itu adalah pendidikan. Dengan demikian, dibutuhkan sebuah upaya bersama yang berkelanjutan untuk mengatasi masalah tersebut.
Pemerintah melalui, setidaknya, Kementerian Kesehatan tentu memiliki desain solutif terhadap masalah stunting dan gizi buruk secara umum. Pun demikian Kementerian Agama melalui Ditjen Pendidikan Islam. Namun, demi melihat statistik kesehatan siswa kita, rasanya tidak berlebihan jika situasinya sudah memasuki derajat keprihatinan. Untuk itu, melihat dan meyakini jalan keluar atas masalah ini semata dari sisi penganggaran rasanya adalah sikap naif. Anggaran untuk pemberdayaan UKS (Unit Kesehatan Sekolah) dan berbagai hal terkait, misalnya, pasti sudah menjadi caps penganggaran tiap tahun anggarannya. Anggaran itupun bisa saja dilipatkan untuk merespons masalah kesehatan yang dihadapi. Namun lebih dari itu, hal yang lebih mendasar adalah perlunya membangun kesadaran bersama untuk meningkatkan kualitas gizi anak secara khusus dan kesehatan anak secara umum. Diperlukan sebuah public campaign yang masif dan berkelanjutan untuk warga Pendidikan Islam secara umum, hingga kampanye dan ajakan untuk mengatasi problem stunting, misalnya, bukan merupakan himbauan, kampanye, dan solusi sementara. Public campaign yang digagas eloknya mampu menggerakkan beberapa hal. Pertama, menginspirasi dan menyentuh kesadaran warga Pendidikan Islam agar tanggap dan bersama mengatasi masalah dan fenomena gizi buruk dan kesehatan yang dihadapi. Kedua, langkah bersama dan berkelanjutan diharapkan menjadi dorongan semua pihak yang terlibat untuk mengeksplorasi pilihan-pilihan kebijakan ke depan untuk mewujudkan masa depan Pendidikan Islam yang inklusif, adil, maju dan berkelanjutan. Ketiga, mendorong semua pihak untuk menemukan terobosan atau inovasi dalam kebijakan terkait yang lebih efektif. Wallahu`alam.
(Saiful Ma`arif, JFU pada Ditjen Pendidikan Islam)
Bagikan: