Beberapa bulan yang lalu Agnez Mo, penyanyi papan atas Indonesia yang karirnya mulai mendunia bikin geger publik di tanah air setelah ia mengatakan dirinya tak memiliki darah Indonesia dalam wawancara dengan Bulid Yahoo. Publik lalu bertanya, siapa sesuangguhnya gen DNA “orang Indonesia” itu?Pertanyaan ini menjadi lebih menarik ketika dikaitkan dengan relasi gender. Kecenderungan akar budaya Indonesia pada budaya matriarki atau patriarki.
Secara genealogis menurut hasil penelitian Eijkman Institute for Molecular Biology seperti dikutip oleh Carey (2019) menunjukkan bahwa DNA etnis “pribumi” Indonesia, ditemukan rata-rata sebanyak 74% orang Indonesia berasal dari Polinesia/Austronesia, 6% dari Afrika, 5% dari Arab, 6% dari Asia Timur (Tiongkok, Korea, Jepang, Taiwan) dan 9% dari India, di mana dalam relasi gender lebih dominan budaya matriarki Polinesia asli yang mendudukan perempuan terhormat bahkan punya kuasa dalam masyarakat.
Namun Rezim kolonial Hindia-Belanda (1816-1942) dan dinamika tafsir keagamaan yang bias gender telah melenyapkan budaya matriarki Polinesia asli nusantara ini, sehingga yang terjadi kemudian perempuan di-oyek–kan, sebagai konco wingking (teman ranjang) –domestic sphere- sehingga budaya patriarki makin menguat (Carey, 2019a).
Maka perlu suatu sejarah baru perempuan di Indonesia bisa ditulis dengan narasi tanding (counter culture) untuk membebaskan cengkeraman patriarki kolonial Belanda dan ancaman pandangan picik kaum fundamentalis itu. Narasi tanding bisa diawali dengan menampilkan kiprah para tokok perempuan sebelum era kolonial sebagaimana patriotisme Ratu Kalinyamat yang memiliki nama asli Retna Kencana, trah Kesultanan Demak dalam dunia maritim di nusantara.
Legenda Maritim
Ratu Kalinyamat adalah profil nenek seorang pelaut yang patut di teladani di nusantara ini. Secara genealogis Ratu Kalinyamat memiliki keturunan langsung dengan pendiri kerajaan Demak, Raden Patah melalui anaknya, Sultan Trenggana. Seperti sudah dikenal luas Raden Patah pendiri Kesultanan Demak memang sejak awal memiliki perhatian lebih terhadap perkembangan maritim.
Sejak tahun 1478, Demak sebagai ibu kota kerajaan dan Jepara sebagai kota pelabuhan mulai tumbuh dan berkembang di bawah kekuasaan Raden Patah. Kepemimpinan kerajaan Maritim di Demak kemudian dilanjutkan oleh Pati Unus yang dikenal dengan Pangeran Sabrang Lor. Pati Unus memiliki pangkalan militer kuat bahkan berani nekad menyerang kekuasaan Portugis di Malaka pada tahun 1512-1513 (Lombad, 2005).
Sepeninggal Pati Unus dilanjutkan oleh Sultan Trenggono yang tak lain adalah ayahanda dari Ratu Kalinyamat. Sumbangan besar Sultan Trenggono (1504-1546) dalam perkembangan masyarakat maritim adalah telah membawa Kesultanan Demak sebagai pusat perekonomian, politik dan keagamaan.
Periode awal Kesultanan Demak, kekuasaan lelaki tampak begitu menonjol. Namun ada nuansa yang berbeda ketika kekuasaan maritim di tampuk kepemiminan Ratu Kalinyamat di Jepara yang semula dikenal dengan Ujung Para yang berarti sebuah ujung tempat pemukiman para pedagang yang berasal dari berbagai kota dan bangsa.
Kekuasaan Sang Ratu semakin kuat setelah menikah dengan Sang Penakluk Samudra Pangeran Hadlirin. Sang Ratu sempat mengirimkan pasukan untuk menggempur Portugis yang menguasai Malaka hingga dua kali yaitu tahun 1551 dan 1574. Hal ini menunjukkan pertaruhan besar yang dilakukan oleh seorang pemimpin perempuan dari Jawa kala itu.
Arkeologi Kejayaan
Jejak kejayaan maritim Ratu Kalinyamat dibuktikan dengan beberapa capaian kemajuan pada eranya:
Pertama, ia telah mengantarkan bandar perniagaan yang telah dirintis sejak 1478 oleh Raden Patah hingga Sultan Trenggono menjadi pusat bandar niaga internasional. Jaringan dagang saat itu melibatkan Cambay, Bengal, Siam dan Tiongkok.
Kedua, ia mampu membangun kekuatan militer yang tangguh. Armada lautnya memiliki ratusan kapal dengan ribuan prajurit. Dengan kekuatan militernya itu, ia mampu mengirimkan armada perangnya ke Malaka untuk melawan penjajah Portugis pada tahun 1551 dengan melibatkan hampir 40 perahu dengan prajurit sekitar 5.000 orang. Lalu 24 tahun berikutnya, tahun 1574, ia mengirimkan kembali armada militer ke Malaka yang jauh lebih besar yakni terdiri dari 300 kapal dengan 15.000 prajurit.
Keberanian dan kekuatan militernya inilah kemudia Ratu Kalinyamat dikenal di kalangan Portugis sebagai “De Krange Dame” (wanita yang gagah berani) ada juga yang menyebut Ratu Kalinyamat sebagai “Rainha de Jepara senhora Poderosa e rice” (Ratu Jepara, seorang perempuan yang kaya dan mempunyai kekuasaan besar).
Ketiga, ia telah mampu merintis industri perkapalan dengan ciri khas Jepara yang dikenal dengan Jung sebagai prototip teknologi perkapalan khas Kalinyamat. Kemajuan ekonomi merupakan motor penggerak yang telah mendorong pengusaha Jepara untuk berinovasi dan mengembangkan industri galangan kapal. Diantara kebutuhan kapal yang paling menonjol adalah jenis kapal Jung baik untuk kebutuhan militer maupun perdagangan.
Keempat, ia telah merintis kerajinan ukir dengan melibatkan ahli ukir China yakni Sungging Badar Duwung, yang dibuktikan dengan ornamen seni ukir yang menempel di dinding masjid Mantingan Jepara. Sebuah kreasi seni ukir yang turut meramaikan bandar niaga Forr Jepara yang perkembangannya kini telah mengantarkan Jepara sebagai kota ukir yang terkenal di dunia hingga sekarang.
Ratu Kalinyamat bukan mitos. Ia mewakili kaum perempuan yang ingin menunjukkan kepada bangsanya bahwa tidak seterusnya kaum hawa itu “dikuasai”, sekali waktu mereka hadir sebagai “penguasa” yang disegani. [FM/Hik]
Oleh Nur Said
Bagikan: