Dr. Nikmarijal, M.Pd , Dosen IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung
Di tengah laju perubahan teknologi yang nyaris tak terbendung, dunia memasuki sebuah babak baru yang dikenal sebagai era Society 5.0. Istilah ini pertama kali dikenalkan oleh Jepang sebagai visi masa depan yang menggabungkan teknologi digital seperti kecerdasan buatan, big data, dan Internet of Things dengan penyelesaian masalah-masalah sosial secara manusiawi. Konsep ini merupakan respon atas Revolusi Industri 4.0 yang berfokus pada mesin dan otomatisasi, namun Society 5.0 menekankan pada manusia sebagai pusat dari inovasi.
Dalam konteks pendidikan, transformasi menuju era 5.0 bukanlah sekadar adaptasi terhadap kemajuan teknologi, tetapi sebuah perubahan paradigma menyeluruh yang menuntut lembaga pendidikan untuk lebih peka terhadap perubahan sosial, budaya, ekonomi, dan spiritual masyarakat. Lembaga pendidikan dituntut untuk membangun sistem yang inklusif, adaptif, dan kontekstual.
Tantangan pendidikan hari ini sangat berbeda dari dekade sebelumnya. Anak-anak dan generasi muda hidup di lingkungan digital, terhubung dengan dunia global, serta tumbuh dalam budaya yang dinamis. Maka, model pendidikan lama yang bersifat satu arah, menekankan hafalan, dan berorientasi pada capaian akademik semata, tidak lagi relevan.
Transformasi pendidikan di era ini menuntut pendekatan yang lebih fleksibel, terintegrasi dengan teknologi, namun tetap mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan. Pembelajaran tidak hanya terjadi di ruang kelas, melainkan juga melalui platform digital, interaksi sosial, dan pengalaman lintas disiplin. Guru atau dosen tidak lagi berperan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan, tetapi sebagai fasilitator, mentor, dan pendamping proses pembelajaran.
Dalam konteks Indonesia, perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI)—baik di bawah Kementerian Agama maupun yayasan swasta—memiliki tantangan sekaligus peluang besar dalam menghadapi transformasi ini. PTKI bukan hanya bertugas mencetak sarjana yang kompeten secara keilmuan, tetapi juga memiliki misi menjaga, mengembangkan, dan menyebarkan nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin yang inklusif dan solutif.
Era 5.0 menuntut PTKI untuk tidak hanya mempertahankan tradisi keilmuan Islam, tetapi juga menanamkannya dalam konteks yang lebih relevan. Misalnya, bagaimana fiqh kontemporer merespons isu-isu teknologi seperti fintech syariah, etika AI, atau hak digital dalam pandangan Islam. Transformasi ini membutuhkan integrasi antara turats (khazanah klasik) dan maharah (keterampilan abad 21).
Lebih jauh, PTKI harus melihat dirinya sebagai institusi yang tidak sekadar mendidik calon ulama atau akademisi, tetapi juga pemimpin sosial, entrepreneur berbasis etika, dan inovator yang membawa nilai-nilai keislaman ke dalam berbagai bidang kehidupan. Oleh karena itu, kurikulum harus lebih interdisipliner dan responsif terhadap kebutuhan zaman.
Salah satu tantangan besar PTKI adalah mempertahankan identitas keislaman di tengah tuntutan untuk terus relevan dan berdaya saing. Dalam era digital, lembaga pendidikan bersaing tidak hanya secara lokal, tetapi juga global. Mahasiswa kini bisa belajar dari berbagai sumber dan memilih institusi yang menurut mereka paling sesuai dengan nilai dan kebutuhan mereka.
PTKI harus mampu menjelaskan secara jernih kepada masyarakat tentang nilai lebih yang ditawarkan. Apakah itu pendidikan berbasis spiritualitas? Apakah itu integrasi antara ilmu agama dan ilmu terapan? Atau kontribusi terhadap pembentukan karakter dan etika profesional yang berakar dari nilai-nilai Islam? Semua ini harus dirumuskan secara sistematis dan dikomunikasikan dengan baik.
Tanpa kejelasan visi dan diferensiasi, PTKI akan tertinggal dalam kompetisi. Bahkan, ada risiko ketika sebagian institusi lebih sibuk mengejar akreditasi administratif tanpa benar-benar meningkatkan mutu dan dampak sosialnya. Transformasi pendidikan menuntut lebih dari sekadar sertifikasi—ia membutuhkan arah strategis yang bermakna.
Transformasi digital membawa peluang besar bagi PTKI untuk memperluas akses dan meningkatkan kualitas layanan pendidikan. Platform pembelajaran daring, sistem informasi akademik yang terintegrasi, serta pemanfaatan big data dalam evaluasi pembelajaran adalah contoh konkret bagaimana teknologi dapat meningkatkan efisiensi dan mutu.
Namun, inovasi teknologi dalam PTKI tidak boleh semata-mata bersifat teknis. Harus ada ruang untuk diskursus kritis mengenai bagaimana Islam memandang teknologi, etika digital, dan dampaknya terhadap kehidupan spiritual. Di sinilah peran PTKI sangat penting: menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas, antara wahyu dan logika, antara nilai-nilai Islam dan tantangan kontemporer.
Lebih dari itu, PTKI juga bisa menjadi pelopor dalam menghadirkan konten keislaman yang berkualitas di dunia digital. Di tengah maraknya disinformasi dan konten keagamaan yang provokatif, PTKI memiliki tanggung jawab untuk menjadi rujukan otoritatif yang mampu menyuarakan Islam yang damai, moderat, dan solutif.
Transformasi tidak bisa dilakukan sendiri. PTKI perlu membangun jaringan dengan berbagai pihak: lembaga riset, dunia industri, organisasi masyarakat, dan pemerintah. Kolaborasi ini akan memperluas wawasan mahasiswa, membuka peluang kerja, dan mendorong lahirnya inovasi-inovasi sosial yang berakar dari nilai-nilai Islam.
Program magang industri, pertukaran dosen dan mahasiswa, serta kolaborasi riset interdisipliner menjadi langkah penting dalam membangun ekosistem pendidikan yang dinamis. PTKI yang tertutup terhadap dunia luar justru akan kehilangan relevansinya.
Transformasi juga menuntut adanya kepemimpinan yang visioner di tingkat institusi. Rektor, dekan, dan pimpinan program studi harus memiliki pemahaman yang mendalam terhadap arah zaman, dan keberanian untuk mengambil keputusan strategis meskipun tidak selalu populer. Kualitas SDM menjadi faktor penentu utama dalam keberhasilan transformasi.
Tak kalah penting adalah kesiapan kultural—kesediaan sivitas akademika untuk berubah, belajar ulang, dan berinovasi. Budaya institusi harus dibangun atas dasar kolaborasi, keterbukaan terhadap gagasan baru, dan komitmen terhadap mutu. Jika budaya stagnan dibiarkan, transformasi hanya akan menjadi jargon tanpa implementasi.
Di era 5.0, pendidikan Islam tidak cukup hanya menekankan hafalan dan pemahaman teks, melainkan juga penanaman nilai-nilai etik, kepedulian sosial, dan keterampilan problem-solving. Pendidikan Islam harus memanusiakan manusia (ta’dib), membentuk insan kamil yang utuh secara intelektual, spiritual, dan sosial.
Dengan demikian, PTKI dapat menjadi contoh bagaimana pendidikan berbasis agama mampu bersaing secara global tanpa kehilangan jati dirinya. Islam yang inklusif, ilmiah, dan berkemajuan menjadi fondasi yang kokoh dalam menghadapi masa depan.
Transformasi pendidikan di era 5.0 bukanlah pilihan, melainkan sebuah keharusan. Dalam gelombang perubahan yang besar ini, hanya lembaga yang mau belajar, beradaptasi, dan terus berinovasi yang akan bertahan dan berkembang.
Bagi perguruan tinggi keagamaan Islam, ini adalah momentum untuk memperbarui orientasi dan memperkuat posisi sebagai institusi yang bukan hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga membentuk peradaban. Dengan menggabungkan nilai-nilai spiritual, keilmuan, dan teknologi, PTKI bisa menjadi motor penggerak perubahan yang memberi makna dan arah bagi masyarakat.
Transformasi adalah jalan panjang. Tapi dengan visi yang kuat, kolaborasi yang luas, dan keberanian untuk berubah, pendidikan kita—khususnya pendidikan Islam—dapat menjadi tonggak kemajuan bangsa dan peradaban global yang lebih adil, beretika, dan berkeadaban.(*)
Penulis : Dr. Nikmarijal, M.Pd , Dosen IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung
Tags:
KampusBagikan: