Cirebon (Pendis)--Kurikulum merdeka telah berjalan dua tahun di madrasah. Kurikulum merdeka memberi ruang kreasi dan inovasi kepada guru untuk mendekatkan pada tujuan pencapaian kompetensi siswa. Kurikulum merdeka menganut model pembelajaran yang berpusat pada siswa.
Bagian penting dari peta jalan (road map) implementasi kurikulum merdeka adalah Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dan Profil Pelajar Rahmatan Lil’alamin. Kompetensi profil pelajar Pancasila memperhatikan faktor internal yang berkaitan dengan jati diri, ideologi dan cita-cita bangsa Indonesia serta faktor eksternal yang berkaitan dengan konteks kehidupan dan tantangan bangsa Indonesia di Abad ke-21.
Pelajar Indonesia diharapkan memiliki kompetensi untuk menjadi warga negara yang demokratis serta menjadi manusia unggul dan produktif di Abad ke-21. Belum lama ini Direktorat KSKK Madrasah bekerjasama dengan “Latar Wingking” sebuah Yayasan yang konsen terhadap kebudayaan khususnya di Cirebon. Para guru madrasah diajak berinteraksi dengan komunitas penjaga tradisi lokal ini.
Di tengah kegiatan “Sosialisasi Panduan Penilaian Hasil Belajar Kurikulum Merdeka” peserta kegiatan mendengarkan paparan dari Kang Farikhin dan kang Jamhuri. “Latar Wingking berdiri dengan dasar keprihatinan terhadap kearifan lokal yang mulai memudar di tengah kemajuan era teknologi informasi. Banyak permainan lokal anak-anak yang hampir tidak lagi dilihat apalagi dimainkan, kebiasaan berbahasa daerah nyaris hilang. Kegiatan utama Latar wingkin adalah ngaji Sejarah (Jirah) setiap 2 minggu sekali, pengajian kitab kuning juga grebeg jajanan lawas”. papar pendiri Latar Wingking ini.
Disaat yang sama kang Farikhin menjelaskan dari aspek sejarah “Cirebon lahir kerana adanya da’wah Islam, sebelumnya (belum dinamai Cirebon) Cirebon adalah daerah yang sangat multi agama, ada agama Hindu, Budha, Kristen dan lainnya. Mereka hidup damai, berdampingan. Seiring laju zaman, mulai datang syiar Islam, adalah Sunan Gunung Djati, beliau berda’wah dengan jalan kebudayaan. Kanjeng Sunan mengenalkan Islam tanpa menggusur budaya lokal. Sebut saja tradisi Suroan adalah salah satu adat yang dilakukan masyarakat Cirebon pada saat bulan asyura. Kata suro sendiri merupakan kata yang berasal dari kata suro dalam bahasa jawa kuno (kawi) berarti ‘raksasa’ dalam bahasa sansekerta berarti ‘dewa’ atau ‘dewi’.
Adat membiasakan pembuatan bubur suro untuk peringatan suroan menghubungkan kemuliaan bulan asyura sebagai wujud syukur kepada Tuhan. Pada bulan yang mulia ini banyak sekali peristiwa sejarah yang terjadi. Diatanranya persitiwa diterimanya taubat nabi Adam dan hawa oleh Allah, diselamatkannya nabi Nuh dan para pengikutnya setelah terombang-ambing lama dengan perahunnya di tengah laut lepas, pertama kalinya nabi Musa mendapat wahyu di gunung Sinai, dibebaskannya nabi Yusuf dari penjara atas tuduhan asusila terhadap Zulaikha.Ada media masyarakat bertemu, berkumpul dan mengingat kearifan lokal sebagai perekat. Lanjut ahli sejarah lulusan IAIN Cirebon ini.
Kegiatan ini disambut baik Direktur KSKK Madrasah. Muhmammad Isom “Kearifan lokal menjadi salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia. ini sejalan dengan Pelajar Pancasila dan Pelajar Rahmatan Lil ‘alamin. Kurikulum merdeka menjadi wadah untuk mengantarkan anak mencapai kompetensi dengan tetap mengenal dan mempertahankan budaya lokal sebagai warisan leluhur bangsa” ujarnya.
Studi karifan lokal ini sejalan dengan amanah Dirjen Pendis, Muhmmad Ali Ramdhani tentang pentingnya moderasi beragama. Menumbuhkan model berpikir, bersikap dan bertindak yang moderat (wasath) di tengah multi agama dan etnis dan keragaman lainnya.
Kegiatan ini berlangsung sebagai bagian dari study kearifan lokal di tengah pelaksaan kegiatan “Sosialisasi Panduan Penilaian Hasil Belajar Kurikulum Merdeka” di hotel Swiss Bell Kota Cirebon. Kegiatan berlangsung sejak hari Rabu-Jum’at, 14-16 Juni 2023 dengan peserta adalah para kepala madarsah, wakil kepala madrasah dan beberapa guru. (Mujahid).
Tags:
MadrasahBagikan: