Bahrul Hayat: 3 Isu Strategis Kementerian Agama

Bahrul Hayat: 3 Isu Strategis Kementerian Agama

Jakarta (Pendis) - Indonesia menjadi importir paling kuat gerakan agama. Yang di negara asalnya saja tidak laku, sementara di Indonesia menjadi laku keras. Hal ini menunjukan betapa gerakan trans-nasional menjadi masalah yang mengancam bangsa Indonesia.

Pernyataan tersebut diungkapkan Bahrul Hayat, mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Agama RI saat memberikan materi Isu-Isu Strategis di hadapan peserta Pendidkan dan Latihan Kepemimpinan (Diklatpim) IV Angkatan XXIX Tahun 2016 di Balai Diklat Keagamaan Jakarta (26/07/16).

Dihadapan 30 peserta Diklatpim IV, Bahrul Hayat menyampaikan tiga isu strategis yang dihadapi oleh Kementerian Agama. Tiga masalah tersebut adalah terkait Ancaman Pemikiran dan Gerakan Keagamaan, Kerukunan Umat Beragama yang Rentan dan Rendahnya Kapasitas dan Kualitas Lembaga Pendidikan.

Berkaitan dengan masalah Ancaman Pemikiran dan Gerakan Keagamaan, Bahrul Hayat menengarai dipicu oleh beberapa hal penting seperti formalitas dalam memahami agama, fundamentalisme dan radikalisme agama, munculnya aliran keagamaan yang menyimpang, fenomena liberalisme agama, gerakan trans-nasional dan gerakan yang anti terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Formalitas agama adalah munculnya simbol-simbol keagamaan menjadi tolok ukur menilai keagamaan seseorang bahkan seperti telah menjadi ideologi. Persoalan fundamentalisme dan radikalisme agama menjadi isu yang sangat kuat di Indonesia dan itu terjadi hampir di semua agama. "Di kawasan negara Asean, Indonesia menjadi titik rentan bersama Filipina dengan munculnya banyak sekali aliran-aliran keagamaan dengan berbagai nama," terang Bahrul Hayat.

Terkait dengan adanya aliran agama yang menyimpang, Bahrul Hayat mensinyalir, tidak akan ada habis-habisnya dan akan tumbuh terus-menerus. "Saya tidak habis pikir orang itu ikut aliran agama dan disuruh membayar juga mau, padahal itu jelas-jelas paham yang menyimpang". Di sisi lain bangsa ini juga menghadapi kelompok liberalisme agama. Ruhnya adalah kebebasan berpendapat, beragama dan Hak Asasi Manusia (HAM). "Apakah Indonesia siap untuk mentolerir orang untuk bebas tidak beragama (the freedom of no religion)?," tanya Bahrul.

Diklatpim IV Angkatan XXIX diikuti oleh 30 orang peserta yang berasal dari Ditjen Pendidikan Islam, Bimas Katolik, Bimas Kristen, Bimas Buddha, Bimas Hindu, Sekretariat Jenderal, Inspektorat Jenderal, Balitbang-Diklat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, IAIN Pontianak Kalbar, IAIN Banten, Kanwil Kemenag DKI Jakarta, Kanwil Kementerian Agama Banten dan Kanwil Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Barat.

Enam orang yang diberikan kesempatan mengikuti Diklatpim IV adalah Abdullah Al-Kholis, Kasubbag Hukum dan Perundang-Undangan Bagian Ortala dan Kepegawaian, Abdullah Faqih, Kasi Kerjasama Kelembagaan pada Direktorat Pendidikan pada Madrasah, Anis Maskhur Kasi Penelitian pada Direktorat Dikti Islam, Nanik Puji Hastuti Kasi Kurikulum Raudlatul Athfal Direktorat Pendidikan Madrasah, Suwendi Kasi Kurikulum Madrasah Diniyah Takmiliyah Direktorat PD-Pontren dan Ruchman Basori Kasi Kemahasiswaan pada Direktorat Dikti Islam.

Isu kedua adalah masalah Kerukunan Umat Beragama yang Rentan. Dalam hal ini Bahrul Hayat mengatakan kerukunan umat beragama di Indonesia sering dijadikan contoh bangsa-bangsa lain di dunia. Terganggu kerukunan umat beragama menurut Bahrul karena adalah perubahan lingkungan strategis, yaitu: transisi sistem demokrasi yang disertai dengan transformasi sosial yang sangat cepat, rusaknya solidaritas sosial dan pertarungan ruang publik dengan simbol-simbol keagamaan.

Selain itu lanjut Bahrul, meningkatnya konflik inter dan antar umat beragama, kesenjangan ekonomi dan pembangunan yang belum merata dan logika mayoritas dan minoritas berbasis agama menjadi faktor lainnya menjadi masalah lain yang memicunya.

Guru Besar Universitas Negeri Jakarta ini tidak lupa menyampaikan isu terkait Rendahnya Kapasitas dan Kualitas Lembaga Pendidikan Keagamaan menjadi isu terakhir yang di kupas oleh Bahrul. "Kementerian Agama mempunyai tugas yang amat berat dibanding dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Karena sekitar 91,5% lembaga pendidikan yang dikelola Kemenag adalah swasta dan hampir semua memiliki keterbatasan sumber daya".

Lemahnya kapasitas lembaga pendidikan Islam menurut Bahrul Hayat dikarenakan oleh beberapa hal mendasar, yaitu sebagian besar (lebih dari 90%) lembaga pendidikan Islam formal diselenggarakan oleh masyarakat. Faktor lainnya adalah adanya keterbatasan sumber daya, sebagian lembaga pendidkan swasta dikelola berbasis keluarga, dan umumnya mereka tidak memiliki usaha pengembangan yang terencana dan sistematis.

Bahrul menyadari bahwa sebagian besar peserta didik berlatar belakang keluarga kelas menengah ke bawah menjadi masalah lain yang turut memberikan andil. Biaya operasional yang tinggi dan keterbatasan untuk dapat memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP) juga menjadi masalah lainnya.

Namun demikian Bahrul Hayat optimis, calon-calon pemimpin seperti para peserta yang sedang mengikuti Diklatpim, mampu mengawal Kementerian Agama agar mampu menyelesaikan berbagai persoalan dan mengoptimalkan perannya di masyarakat.

Pelaksanaan Diklatpim IV Angkatan XXIX Tahun 2016 dilaksanakan selama kurang lebih 4 bulan, 18 Juli s/d 1 November 2016 dengan sistem pembelajaran di Balai Diklat (on campus) dan pelatihan di luar balai diklat atau di tempat kerja (off campus). (Ruchman Basori/dod).


Tags: