BOS dan Program Wajib Belajar  Oleh Hetifah Sjaifudian

BOS dan Program Wajib Belajar Oleh Hetifah Sjaifudian

Jakarta (Suara Karya) Salah satu kebijakan pendidikan di Indonesia yang masih menjadi catatan buram dan perlu mendapat perhatian serius adalah program BOS (bantuan operasional sekolah). Program ini secara umum bertujuan untuk meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar sembilan tahun yang bermutu. Secara khusus, BOS bertujuan agar seluruh siswa SD dan SMP negeri bebas dari pungutan biaya operasional sekolah, terutama siswa miskin. Demikian pula dengan siswa di sekolah-sekolah swasta, dana BOS diplor untuk membantu meringankan beban biaya operasional sekolah. (Dirjen Dikdas Kemendiknas, 2011).

Mulai tahun 2011 dana BOS mengalami perubahan mekanisme penyalurannya, yang semula dari skema APBN menjadi dana perimbangan yang dilakukan melalui mekanisme transfer ke daerah dalam bentuk Dana Penyesuaian untuk BOS sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 10/2010 tentang APBN 2011. Alokasi dana program BOS 2011 sendiri mencapai Rp 16,8 triliun (untuk sekitar 37,8 juta siswa SD dan SMP) yang akan ditransfer ke daerah melalui mekanisme dana alokasi umum/dana alokasi khusus (DAU/DAK).

Program BOS mulai dijalankan pemerintah sejak 2005. Temuan Pattiro Institute (2010) di 15 daerah di Indonesia menunjukkan, walaupun terjadi penganggaran untuk iuran masyarakat pada periode 2007-2009, tetapi biaya yang ditanggung masyarakat masih cukup besar. Sampai 2009, masyarakat masih mengeluarkan uang (OOP=out-of-pocket) untuk 6 jenis biaya sekolah (uang pangkal, SPP, buku, ATK, kursus, dan iuran lain) berkisar Rp 50.000 - Rp 350.000 per bulan.

Di beberapa daerah survei, terjadi peningkatan OOP karena dua komponen utama, yaitu SPP (atau pungutan sejenisnya) dan iuran lain. Ini mengherankan mengingat jenis iuran ini yang menjadi target BOS (program sekolah gratis).

Sementara itu, laporan Bank Dunia terbaru memperlihatkan, pada tahun 2009 tercatat hanya 45% dari siswa miskin di SD dan 33% dari siswa SMP telah bebas dari iuran pendidikan, dengan perbedaan tipis antara sekolah negeri dan swasta. Bahkan, iuran pendidikan siswa miskin, di SD dan SMP, meningkat selama 2006-2009, meski dari nilai dasar yang rendah.

Anggaran BOS (per satuan siswa) memang terus meningkat. Pada tahun 2011 untuk per siswa SD mendapat anggaran sebesar Rp 400.000 dan siswa SMP (Rp 575.000). Tapi, dibandingkan kebutuhan operasional siswa (operasional non-personal) memang baru memenuhi sebagian dari unit biaya seharusnya. Penggunaan BOS di sekolah masih didominasi belanja untuk pos guru/guru honorer (operasional personal) dibanding peruntukan awalnya, yaitu belanja pos siswa. Dana BOS menjadi penting karena merupakan instrumen utama pemerintah untuk mewujudkan pendidikan dasar (9 tahun) gratis dan bermutu dengan menghapuskan pungutan biaya sekolah. Menurut survei Bank Dunia (2005), biaya sekolah menghambat partisipasi sekolah karena orangtua enggan membayar iuran. Sebaliknya, dengan menghapus iuran/pungutan sekolah, proporsi anak bersekolah akan meningkat, sebagaimana terbukti di Uganda dan Malawi. (Deininger, 2003)

Sejumlah hal yang membuat program BOS tidak efektif karena persoalan pengelolaaan yang keliru (miss-management) serta kronisnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) terkait dana pendidikan di tingkat pusat dan daerah yang kian memprihatinkan. Untuk Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) dan BOS, misalnya, penyelewengan dan akuntabilitas yang buruk menjadi penyakit utama.

Ada indikasi lazimnya modus baru korupsi pada dana BOS. Jika sebelumnya, BOS dipotong sebelum sampai sekolah, sekarang disunat setelah sampai ke rekening sekolah. Pemerintah pusat memang langsung mengirim ke rekening sekolah, namun oknum dinas pendidikan kabupaten/kota menagih jatah.

Belum lagi, kasus yang terkait dengan dana hibah (block grant) RSBI. Sekolah masih mengutip pungutan yang tinggi dan nyaris menutup peluang masyarakat menengah ke bawah untuk dapat menikmati pendidikan yang bermutu. Hal ini disebabkan ketiadaan peta jalan (road map) pendidikan nasional yang dibarengi dengan lemahnya perumusan mandat di tingkat pusat, mekanisme distribusi anggaran, dan pengawasan penggunaan anggaran pendidikan.

Pemerintah wajib memastikan sistem pengendalian dana BOS agar tetap memadai. Tidak hanya itu, pemerintah harus pula menyediakan dan memastikan sistem dan mekanisme pengaduan masyarakat yang mudah, murah, dan cepat tanggap.

Sejauh ini, Kemendiknas telah menyediakan jalur pengaduan melalui telepon (Nomor 117) website, faksimile, dan email. Namun, seperti diakui pihak Kemendiknas sendiri, selain menggunakan telepon, orangtua siswa umumnya melaporkan penyimpangan penggunaan dana BOS melalui surat, lembaga swadaya masyarakat (LSM) hingga langsung kepada penegak hukum.

Artinya, pemerintah sendiri masih perlu mengevaluasi dan memperbaiki sistem pengaduan masyarakat. Ini penting agar 37,8 juta murid dan para guru yang tersebar di 180.000 sekolah dapat mengetahui dengan pasti kepada siapa mereka bisa melaporkan dan mendapatkan tanggapan yang tepat ketika menemukan adanya penyimpangan dana BOS ataupun DAK pendidikan.

Berdasarkan laporan Indonesian Corruption Watch (ICW), ada beberapa pola korupsi dana pendidikan di daerah. Di antara pola tersebut, antara lain pembuatan aturan yang korup, kongkalikong (kolusi) pemerintah dengan pengusaha pada proses pengadaaan barang dan jasa, proposal dan kegiatan fiktif, dugaan suap, mark-up harga yang juga diiringi penurunan kualitas barang dan kegiatan. Jika tidak diiringi dengan kontrol, perubahan mekanisme penyaluran dan penggunaan dana BOS maupun dana pendidikan lainnya, hanya berarti memindahkan atau bahkan menyebarkan korupsi ke daerah.

Kombinasi dari kekeliruan paradigma, strategi kebijakan yang belum sungguh-sungguh, menyasar kepada tujuan dasar yang ditetapkan, dan praktik korupsi akibat lemahnya sistem pengendalian pemerintah jelas membahayakan pendidikan Indonesia. Anggaran yang seharusnya dialokasikan dan digunakan untuk meletakkan pondasi pembangunan Indonesia hanya akan kembali menjadi bancakan koruptor seperti terefleksi pada kasus-kasus di atas.

Sesesuai amanat konstitusi, pemerintah harus lebih serius memastikan bahwa warga negara mendapatkan pendidikan dasar secara gratis dan bermutu. Itu dapat ditunjukkan di antaranya dengan postur anggaran yang mendukung pencapaian wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang berkualitas dan alokasi untuk mencapai pendidikan dasar gratis dan bermutu melalui BOS beserta mekenisme kontrolnya.

Di sisi lain, masyarakat harus kian sadar dan waspada terhadap potensi korupsi yang dipicu oleh pengalokasian dan penggunaan anggaran yang tidak dikendalikan secara baik. Menyelamatkan dana pendidikan sama artinya dengan menyelamatkan bangsa dari keterpurukan di masa depan dalam pergaulan dunia. ***

Penulis adalah anggota Komisi X DPR.


Tags: