Dijuluki Profesor , Mengajar sampai ke California

Dijuluki Profesor , Mengajar sampai ke California

BAGI Peni Candra Rini (28), sinden adalah jalan hidup yang dipilih. Alumnus Jurusan Karawitan Institut Seni Indonesia (ISI) Solo membuktikan predikat pesinden membawanya memperoleh penghargaan prestisius dan juga mengantarkannya keliling mancanegara. Bahkan ia pun akrab disapa dengan sebutan profesor.

’’Di sana (luar negeri), sebagai pesinden saya akrab disapa dengan profesor. Sebutan itu lazim digunakan mahasiswa di sejumlah universitas di luar negeri ketika memanggil pengajar atau dosennya,’’ katanya ketika ditemui di rumahnya Gang Guruh, Kentingan, Jebres Solo.

Barangkali, lanjutnya, mereka mengartikan profesor sebagai seseorang yang profesional. Berbeda di Indonesia, sebutan profesor baru dipakai setelah melalui penjenjangan akademi, seperti harus sudah menyandang gelar doktor(S2).

Meski kini sudah bisa melanglang dunia dengan kemampuannya sebagai pesinden sekaligus komposer gamelan, Peni sebenarnya juga berangkat sebagai pesinden pada umumnya ketika masih remaja.

Dia nyindeni ayahnya Ki Wagiman Gondocarito saat mendalang maupun diajak sejumlah dalang kondang lainnya. ’’Memang Bapak berharap agar saya menjadi sinden saja, seperti kakak saya Mbak Keksi,’’ tuturnya.

Namun karena jiwa dan wataknya ingin selalu berkembang, ia pun tidak hanya terhenti pada kegiatan nyinden, seperti sinden pada umumnya. Dia mengembangkan diri sebagai komposer karawitan dan musik kontemporer yang berangkat dari tradisional.

Tamat SMP di kota kelahirannya Tulungagung, dia melanjutkan di SMKI Solo dan kuliah di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI yang sekarang menjadi ISI) Solo.

’’Mengenal musik kontemporer ketika sering melihat konser Pak Sadra (almarhum I Wayan Sadra-Red) di Sono Seni Ansamble. Kemudian menjadi anggota ansamble setelah diminta membuat komposisi vokal mengiringi karya almarhum,’’ tambahnya.

Di samping mendalami teknik sinden sejak kuliah di jurusan Karawitan ISI Solo, 2001, dia mulai mendalami musik kontemporer. Hasilnya, dia sering diajak konser musik I Wayan Sadra maupun Rahayu Supanggah, keduanya pakar musik dan karawitan di ISI Solo. Dalam sejumlah konser itu, dia tetap memainkan kemampuannya sebagai vokalis. Dan setelah berhasil menyelesaikan S1 jurusan karawitan dan S2 komposer, Peni diminta almamaternya untuk mengajar jurusan Karawitan.

Sejak sering diajak konser di dalam maupun luar negeri, kemampuannya sebagai sinden makin mantap. Dari segi popularitas sebagai pesinden di dalam negeri, memang dia belum setenar Nyi Condrolukita atau Nyi Madusari dan Ny Suyahni. Di sinilah bedanya pesinden-pesinden tenar itu dengan Peni. ’’Saya tahu teknik dan bisa nyinden sebagai bagian dari ansamble gamelan, tapi saya juga komposer karawitan kontemporer. Masing-masing mempunyai karakter dan cengkok sendiri-sendiri. Dan yang namanya sinden itu tidak bisa dipisahkan dengan gamelan.’’

Kemampuannya itu ternyata justru lebih banyak dihargai di luar negeri. Seiring tingginya intensitas mengikuti konser di mancanegara, nama, dan talentanya mulai dikenal. Terakhir, 2011, dia mengajar dan mengadakan workshop dan konser di Amerika Serikat. ’’Selama lima bulan saya mengajar gamelan di California Institut of the Art, kunjungan artis di Universitas Washington dan Gamelan Concert di Univesitas San Diego. Pulang baru sebulan lalu,’’ ujarnya.

Selain mengajar gamelan, dia juga sempat konser bersama sejumlah pemusik manca. Seperti dengan Rob Kapilow di Lincoln Center pada White Light Festival, mengikuti ensamble improvisasi dengan Susan Allen dan Roman Stolyar di Roy O Disney Aula California Institut of the Art. Dengan Los Angeles Listrik 8 untuk World Festival of Sacred Music, Harare International Festival of the Art ’’Ketika mengajar di California itulah saya dipanggil dengan profesor oleh para mahasiswa,’’ tambahnya.

Peni yang menyandang predikat Sinden Muda terbaik pada Seleksi Pesindhen Remaja se-Surakarta 2005 dan menerima medali perak untuk vokal terbaik pada Festival Seni Musim Semi Persahabatan di Pyongyang Korea Utara itu sudah mengikuti berbagai festival maupun konser musik maupun berkolaborasi dengan pemusik yang berbeda dari seluruh dunia. Dia juga pernah melontarkan ide International Vocal Forum yang kemudian disetujui dan menjadi program Asian Society, penyandang dana bagi kebudayaan di Asia dan Amerika.

Dari sekian muhibah seninya itu, dia sangat terkenang saat nyinden di luar negeri. Seperti di Lincoln Center New York atau di Lacma Los Angeles dan beberapa konser lainnya. Sejumlah penonton tiba-tiba memeluknya sambil menangis. Mereka mengatakan, ’’Meskipun saya tidak mengerti maksud lagu yang kamu lantunkan, tapi perasaan saya tersentuh dan memahami bagaimana gejolak hatimu ketika menyanyi.’’

Kini Peni mendidik sejumlah mahasiswa di Jurusan Karawitan ISI Solo. Dia mendapat tugas mengajar mata kuliah Tembang, Komposisi Karawitan, dan Notasi Transkrip Karawitan. Kepada mahasiswa, dia lebih menekankan agar mereka bisa mempunyai cengkok dan ciri sendiri sebagai identitas. ’’Asal nyinden itu hanya asal bersuara, tapi bisa nyinden itu mengerti karakter vokal maupun tembang atau gendhingnya.’’(Sri Wahjoedi-77)


Tags: