Dirjen Pendis: Perguruan Tinggi Harus Fasilitasi Lahirnya Hak Paten

Dirjen Pendis: Perguruan Tinggi Harus Fasilitasi Lahirnya Hak Paten

Jakarta (Pendis) - Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama RI, Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, MA, memberikan apresiasi setinggi-tingginya atas prestasi ibu Dr. Elpawati, Ir. M.D. atas capaiannya sebagai penerima hak paten pertama di lingkungan PTKI. Lebih jauh lagi dari apresiasi, pesan Guru Besar asal Makassar ini, meminta dengan sangat kepada pimpinan PTKIN, seharusnya perguruan tinggi memfasilitasi penelitian yang berpotensi memperoleh hak paten.

"Prestasi ini patut menjadi inspirasi, motivasi dan contoh untuk kita semua. Prestasi seperti ini harus dirawat dan harus terus dikembangkan. Prestasi ini adalah produk dari critical thinking yang melahirkan inovasi. Perguruan tinggi harus memfasilitasi suasana kondusif yang akan melahirkan inovasi-inovasi baru," ujarnya.

Dukungan dan pesan instruktif Dirjen Pendidikan Islam ini sejalan dengan pengalaman Ibu Elpawati pada saat penelitian di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Awalnya, sekitar tahun 2007 penelitian tentang sains belum memperoleh perhatian khusus dari pihak pimpinan. Penelitian tentang mikroorganisme terkait bakteri-bakteri dalam sampah ini sangat panjang sekali ceritanya, banyak pihak terlibat, mulai dari mahasiswa, pimpinan di UIN, LIPI, Organisasi Kemasyarakatan dan Pemuda, dst. Bahkan, dari 1 (satu) hak paten ini, telah melahirkan 5 Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dari tulisan-tulisannya melalui jurnal yang diterbitkan.

"Di balik kelahiran hak paten ini, proses panjang telah dilewati. Hak paten ini berbeda dengan pengurusan HAKI lainnya. Pengalaman kami, 1 (satu) hak paten ini telah menghasilkan minimal 5 (lima) HAKI dari hasil riset yang diterbitkan di jurnal ilmiah. Pengurusan hak paten juga tidak sesederhana HAKI lainnya. Kami sangat terbantu sekali oleh pihak LIPI pada saat proses hak paten ini. Pada waktu penelitian dibiayai oleh pihak UIN Syarif Hidayatullah, kami belum berani untuk mempatenkan temuan riset kerja sama dengan para mahasiswa ini. Kecenderungannya, hasil penelitian kami ini ikhlas beramal sebelum tantangan dari LIPI yang memintanya untuk mempatenkan," ujar Elpawati bercerita suka duka proses kelahiran hak paten ini.

Ternyata terdapat kisah dibalik pernyataan, "Ikhlas beramal" tersebut. Sebelum berniat dipatenkan, pada saat itu pemerintah kabupaten Tangerang Selatan sedang gencar-gencarnya "perang" terhadap sampah yang berkeliaran di mana-mana. Elpawati dan tim sudah dikenal telah menemukan bakteri-bakteri yang dapat menghancurkan sampah, tetapi juga dapat berfungsi sebagai pupuk organik. Bersamaan dengan kebijakan pemerintah Tangsel, ternyata organisasi kemasyarakatan dan pemuda juga berminat untuk berpartisipasi dalam pemusnahan sampah tersebut. Diadakanlah beberapa kali pertemuan tim ibu Elpawati dengan mereka. Usai pertemuan dan praktik itu, beberapa tahun kemudian, ada klaim dari beberapa pihak yang hadir, bahwa bahan-bahan penghancur sampai itu hasil komposisi yang dibuat mereka.

Atas dasar pengalaman "ikhlas beramal" tersebut, Elpawati dan tim mulai berhati-hati untuk memberikan resep komposisi bahan penghancur sampah kepada semua pihak, kecuali hak paten sudah diperoleh dalam genggamannya. Ada cerita dari mahasiswa yang menjadi salah seorang timnya, bahwa dirinya pernah sudah diiming-imingi sejumlah uang hanya untuk memberikan resep komposisinya oleh salah seorang pengusaha. Lalu, pernah juga suatu ketika, ibu Elpawati menemani seorang anggota dewan untuk menemani kampanye dengan sosialisasi dan bagi-bagi gratis bahan temuannya itu. Bahan temuannya sebelum EM-10, pernah EM-5 dan EM-8 sesuai dengan hasil risetnya dari tahun ke tahun.

Hak Paten menjadi Produk EM-10, Sampah berubah Menjadi Pupuk Organik

Produk EM-10 yang sudah dipatenkan ini, berawal dari penelitian Elpawati sejak di IPB. Ketika itu, produk yang ada masih menggunakan EM-4 dari produk luar negeri. Ada tantangan kecil terkait bakteri dari EM-4 ini, apakah relevan dengan situasi dan kondisi di Indonesia yang berbeda dari musim hingga tradisi keagamaannya. Setelah diadakan uji coba untuk mencari bahan lokal dari dalam negeri, selama praktik di laboratorium lalu muncul EM-5. Istilah EM ini berasal dari Mikroorganisme bakteri, lalu disebut EM. Seperti disebut di atas, ada konteks sosial politik juga mengapa penelitian ini dilanjutkan secara akademik. Salah satunya dapat dukungan dari pemerintah Tangerang Selatan dalam hal penanggulangan sampah.

Dana penelitian dari LP2M UIN Syarif Hidayatullah berhasil untuk menghasilkan produk EM-8. Akan tetapi, berdasarkan pengalaman, maka produk EM-8 ini hanya digunakan secara terbatas dan kalangan terbatas. Kelahiran produk EM-10 setelah mendapat dana penelitian LIPI dan ditantang untuk dapat menghasilkan produk hak paten. Sejak EM-8 uji coba laboratorium itu tidak hanya pada sampah organik, tetapi juga sampah non organik. Hanya saja, hasil riset yang 95% dapat menghancurkan sampah itu dari sampah organik. Prosentase hasil riset pada sampah non organik paling tinggi hanya 70an %.

Uji coba berikutnya, usai sampah dihancurkan, lalu penggunaan hasil itu untuk pupuk organik, mulai dari tanaman, sayuran atau buah-buahan hingga lainnya. Berdasarkan hasil uji coba tersebut, sampah organik jauh lebih bermanfaat daripada non organik. Sampah organik ini lebih mudah diperoleh apabila di perumahan, bekas sampah dapur. Mekanisme penghancurannya lebih mudah dan efektif apabila dimulai dari tempat sampah yang kecil.

Penelitian tentang sampah ini juga pernah ditawarkan menjadi beberapa penelitian untuk laporan akhir mahasiswa program studi Sarjana Agro Bisnis Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah. Sekurang-kurangnya terdapat 8 (delapan) judul skripsi yang dapat mendukung kelahiran hak paten. Sunandar, alumni tahun 2015 jurusan Agro Bisnis, adalah salah seorang mahasiswa yang mengambil salah satu judul penelitian hasil bimbingan ibu Elpawati. Kini, Sunandar menjadi salah seorang tim peneliti ibu Elpawati juga untuk penelitian tentang lebah yang tidak menyengat (Stingless Bee). Lebah ini menjadi proyek penelitian berikutnya dari ibu Elpawati yang masih berlangsung sejak setahun belakang. Riset lebah ini mengingatkan kita tentang beberapa cerita lebah dalam Al-Qur`an. Hal serupa juga pada penelitian tentang sampah organik ini penting untuk dilihat dari studi keislaman.

Studi Keislaman tentang Sampah Organik

Dalam konteks studi keislaman, Ibu Elpawati dan tim melihatnya pada dua aspek, pertama merujuk pada ayat Al-Quran tentang tanaman dan tumbuhan sebagai sumber energi seperti pada QS. Yasin: 80, An-Nur: 35 dan QS. Al-Waqiah: 71-72. Sampah organik berasal dari tanaman dan tumbuhan yang dijadikan sebagai uji coba dalam proses riset menuju hak paten. Aspek kedua, dilihat dari komposisi bahan yang terhindar dari zat kimiawi yang tidak halal, seperti zat babi dan semacamnya. Di sinilah perbedaan EM-10 dengan produk lainnya diluar hasil penelitian tim PTKIN. Bahkan lebih jauh ibu Elpawati berpandangan, apabila kalian ingin membuktikan ayat-ayat Al-Quran, lakukanlah penelitian. Dengan penelitian itulah kita dapat merasakan dan membuktikan kebesaran Allah Swt.

Demikian pungkas hasil diskusi dengan Ibu Elpawati di tengah-tengah pameran Intellectual Property Expo di Monas Jakarta, bersamaan degan hari Kekayaan Intelektual Internasional oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tanggal 26 April 2018.

Dengan pengalaman panjang bu Elpawati di atas, semoga dapat menginspirasi para dosen dan peneliti lainnya di lingkungan PTKI, khususnya. Sebagaimana pesan Bapak Dirjen Pendis, Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, MA di awal tulisan ini. [ME/dod]


Tags: