Dosen Tak Standar, Ganjal Akreditasi

Dosen Tak Standar, Ganjal Akreditasi

SEMARANG (Suara Merdeka)– Kegagalan proses akreditasi perguruan tinggi maupun program studi,salah satunya disebabkan oleh dosen yang tak memenuhi standar minimal. Standar minimal tersebut adalah Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti) yang menjadi dasar penetapan kriteria sistem penjaminan mutu eksternal lewat akreditasi.

Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 49 Tahun 2014 tentang SN Dikti, standar tersebut mensyaratkan seluruh dosen harus memiliki nomor induk dosen nasional (NIDN). Data dosen pada perguruan tinggi dan program studi harus memuat tingkat pendidikan dan gelar dosen. Dosen juga harus memiliki jabatan fungsional akademik, transaksi akademik, dan kegiatan akademik. Selain itu, pada sebuah program pendidikan sedikitnya ada 75% dosen tetap dari jumlah seluruh dosen.

"Ada lagi syaratnya. Minimal ada enam dosen yang linier dan minimal harus berpendidikan S-2," kata Ketua Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, Prof Mansyur Ramly, kemarin.

Dosen tetap untuk program doktor paling sedikit harus ada dua orang guru besar. Sementara pembimbing utama pada program doktor, harus sudah pernah memublikasikan paling sedikit dua karya ilmiah pada jurnal internasional terindeks yang diakui direktorat jenderal.

Persyaratan tersebut tak hanya berlaku bagi program studi perguruan tinggi yang mengajukan akreditasi, tapi sudah berlaku sejak program studi dan perguruan tinggi tersebut akan dibuka dan didirikan. Pembukaan program studi dan pendirian perguruan tinggi swasta saat ini membutuhkan rekomendasi dari Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) masing-masing wilayah.

"Nah, sejak pengajuan permohonan rekomendasi itu sudah harus memenuhi syarat minimal. Karena sesuai peraturan, saat ini begitu program studi dibuka dan perguruan tinggi berdiri sudah langsung terakreditasi minimal C. Bukan lagi nol," kata Koordinator Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah Prof DYP Sugiharto.

Butuh Waktu

Menurutnya, syarat yang paling sulit untuk mencapai akreditasi adalah penyiapan sumber daya manusia, termasuk dosen. "Itu butuh waktu lama dan sulit. Contohnya, akan mendirikan akademi kebidanan pada suatu wilayah kabupaten. Dosen harus S-2. Dari mana mencari lulusan S-2 kebidanan, kan tidak banyak," ungkap Sugiharto.

Belum lagi rasio dosen dan mahasiswa yang juga harus memenuhi syarat. Saat ini di bawah Kopertis Wilayah VI, terdapat 249 perguruan tinggi, dengan 1.138 program studi. Jumlah total mahasiswa mencapai 245.643 orang, sedangkan jumlah dosen perguruan tinggi swasta di bawah Kopertis VI mencapai 8.799 orang. Rasio rata-rata dosen program studi dan mahasiswa adalah 1 : 28. “Itu masih memenuhi syarat,” ujar Sugiharto.

Namun, masih terdapat dosen yang belum lulus S-2. Berdasarkan data per 21 Januai 2015, jumlah dosen PNS yang diperbantukan di perguruan tinggi swasta yang belum lulus S-2 mencapai 38 dari 769 dosen. Sementara, jumlah dosen yang belum memiliki jabatan fungsional akademik mencapai tiga dari 769 dosen.
Jumlah dosen yayasan yang belum berpendidikan S-2 adalah 2.244 dari 8.030 dosen. Jumlah dosen yayasan yang belum memiliki jabatan fungsional akademik mencapai 3.602 dari 8.030 dosen.

"Dari data itu dan menilik persyaratan minimal dalam SN Dikti, bisa dilihat tidak terpenuhinya sumber daya manusia, dalam hal ini dosen," kata Sugiharto.

Ketua BAN PT, Prof Mansyur Ramly mengatakan, syarat SN Dikti harus dipenuhi, karena hal itu merupakan syarat minimal. Kendati demikian, BAN PT akan mempertimbangkan jika program studi mengajukan dosen dari bidang yang masih satu jalur. "Misalnya, dosen untuk kebidanan bisa dari kedokteran. Namun, tentu saja harus dilihat jumlah dan kondisinya," kata Ramly. (H89-37)


Tags: