Ekspresi Guru Masa Lalu dan Kini

Ekspresi Guru Masa Lalu dan Kini

PEMUKULAN sejumlah siswa oleh seorang guru di Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang belum lama ini tidak perlu didramatisasi dan digeneralisasikan (di-gebyah uyah) kepada semua guru. Ini adalah satu kasus yang boleh jadi hanya wujud dari ’’kelainan’’ jiwa pendidik itu karena berbagai sebab. Orang bisa saja menyebut soal ekonomi, karakter, masalah rumah tangga, atau karena sebab lain. Tudingan ini perlu pembuktian lebih jauh. Yang penting dari peristiwa ini, siapa pun, terutama penentu kebijakan pendidikan, dapat mengambil hikmahnya.

Bebicara tentang sosok guru saat ini dan pada masa lalu jelas jauh berbeda. Saya yang lulus SD tahun 1974 merasakan perbedaannya dengan kondisi sekolah anak saya saat ini. Pada 1960-1970-an, suasana sekolah demikian menyenangkan. Seorang guru SD hampir dapat dipastikan menguasai tiga hal yaitu menggambar, menyanyi (nembang Jawa), dan mendongeng.

Situasi kelas bebas dari tekanan karena guru sangat paham jiwa sang murid. Jika murid sudah kelihatan jenuh dengan mata pelajaran, sang guru mengajak menyanyi bersama atau mendongeng. Tidak ada PR menumpuk, dan pekerjaan tangan atau prakarya juga dikerjakan di sekolah bersama-sama guru.

Menjadi guru pada 1960-1970-an juga merupakan panggilan hati. Mereka umumnya lulusan Sekolah Guru Bantu (SGB) atau Sekolah Pendidikan Guru (SPG) yang memang sejak semula bercita-cita menjadi guru. Tentu ini berbeda dari zaman sekarang. Menjadi guru boleh jadi merupakan pilihan terakhir setelah gagal masuk UGM, ITB, atau UI misalnya.

Wajar jika guru pada zaman sekarang umumnya (sekali lagi tidak semuanya) berada dalam suasana tertekan, setidaknya secara psikologis ada rasa ’’malu’’ mengungkapkan jati dirinya. Padahal mereka memiliki tugas berat memberi dasar pembentukan watak anak bangsa. Mereka terkungkung dalam praktik-praktik kependikan yang melioristik. Akibatnya guru saat ini kadang tidak dapat mengaitkan antara tugas sebagai pendidik dan berbagai implikasi perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang makin cepat.

Guru adalah tokoh kunci dalam kemajuan pendidikan karena jika pintu kelas sudah tertutup. Kalau guru tidak profesional, apa jadinya proses pembelajaran di kelas tersebut ? Karenanya kini istilah profesionalisme guru terus mencuat ke permukaan dan saat ini dikaitkan dengan istilah sertifikasi guru.

Kini ’’pabrik guru’’ yang bernama LPTK telah menjadi universitas dan memperluas kewenangannya. Dosen lulusan ilmu kependidikan yang mengajar di universitas eks IKIP sebagian besar melanjutkan studinya ke bidang ilmu murni. Sudah lebih 10 tahun silam saya menulis tentang padanan IKIP dengan Akabri (waktu itu). Karena militer adalah profesi khas yang tidak dapat digantikan oleh seseorang yang tidak pernah mendapatkan pendidikan khusus tentang kemiliteran, maka pemerintah tidak berani main-main. Misalnya mengizinkan pendirian Akabari swasta, atau mendirikan di berbagai tempat.

Bisa Menghargai

Kalau benar guru dianggap sebagai profesi, tentu ada hal-hal yang menjadi kewajiban yang harus dilakukan secara profesional, yakni memiliki kemampuan interpersonal, menunjukkan empati, hubungan baik, dan penghargaan kepada siswa; mampu menerima, mengakui, dan memperhatikan siswa secara tulus; punya minat tinggi dalam mengajar.

Selain itu, mampu menciptakan suasana kerja sama dan kohesivitas dalam kelompok siswa; mampu melibatkan siswa dalam mengorganisasikan dan merencanakan kegiatan pembelajaran; mampu mendengarkan siswa dan menghargai siswa untuk bicara dalam diskusi di kelas; dan mampu meminimalkan friksi-friksi di dalam kelas jika ada.

Untuk menghasilkan guru yang bermutu harus dari lembaga khusus, yang didesain berbeda dari lembaga penghasil nonguru, memiliki komitmen tinggi terhadap ilmu kependidikan, sibuk mengembangkan ilmu kependidikan secara khusus (didaktik-metodik, kajian kurikulum, keahlian mengajar atau micro teaching) yang terencana, melembaga, dan kontinu.

Selain itu, ada staf pengajar lengkap yang setiap saat mengembangkan dirinya terfokus khusus pada ilmu kependidikan, dalam arti tidak mengajar di luar ilmu itu. Hal ini sama halnya dosen Akabari yang dari militer pasti tidak akan mengajar di berbagai tempat di luar bidang kemiliteran, misalnya mengajar keterampilan bengkel dan sebagainya. (10)

— Saratri Wilonoyudho, anak dan menantu guru, dosen Universitas Negeri Semarang


Tags: