Guru Minim Penyuluhan Cara Tangani Kasus Tertentu pada Siswa

Guru Minim Penyuluhan Cara Tangani Kasus Tertentu pada Siswa

Jakarta (Suara Pembaruan)- Pengurus Daerah Asosiasi Bimbingan dan Konseling (PD ABKIN) DKI Jakarta bekerja sama dengan Program Studi S2 Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Jakarta (UNJ) serta Gerakan Indonesia Pintar (GIP), menyelenggarakan seminar dan pelatihan dengan tema "Meningkatkan Kapasitas Pendidik dalam Mewujudkan Sekolah Ramah Anak" di Kampus UNJ, Rawamangun, Jakarta, hari ini.

Seminar dan pelatihan tersebut diharapkan dapat meningkatkan pemahaman pendidik mengenai arah kebijakan dan komitmen pemerintah dalam penerapan program Sekolah Ramah Anak (SRA). Kemudian, berbagi ide mengenai penanganan masalah-masalah di sekolah yang mendorong penerapan sekolah ramah anak, meningkatkan kesadaran para pendidik untuk penerapan program sekolah ramah anak dalam berbagai layanan bimbingan dan konseling. Lalu, mengawali pilot program (program rintisan) Sekolah/Madrasah Ramah Anak.

"Para guru sering tidak dibantu untuk mengetahui cara-cara baru menangani kasus-kasus tertentu, seperti kasus seksualitas pada anak dan remaja yang kian marak. Karena pada saat kuliah mereka (guru) tidak diajarkan secara mendalam," tutur Susi Fitri, Ketua PD ABKIN DKI pada jumpa pers Seminar dan Pelatihan: Meningkatkan Kapasitas Pendidik dalam Mewujudkan Sekolah Ramah Anak di Jakarta, Selasa (24/2).

Dilanjutkannya, padahal para guru seringnya ditekan dari pihak orangtua murid dan lingkungan untuk bisa menangani kasus-kasus yang terjadi pada anak. Tetapi, mereka minim mendapatkan penyuluhan seputar hal itu.

Dengan begitu, menurut Susi perlu dilakukan pemberian informasi dan penyuluhan yang sifatnya sosial terhadap guru Bimbingan dan Konseling untuk melihat masalah anak.

"Problem anak yang dihadapi guru Bimbingan dan Konseling biasanya adalah masalah psikologis yang disebabkan keadaan sosial sang anak. Seperti, kemiskinan yang sering menjadi pemicu kasus dalam bentuk kekerasan," imbuh Susi.

Ditambahkannya, namun guru Bimbingan dan Konseling seringnya menangani masalah anak secara individu. Maka, guru Bimbingan dan Konseling butuh melihat kasus secara lebih makro.

Oleh karena itu, melalui kegiatan ini diharapkan Susi akan terjadi perubahan pandangan dan cara menangani kasus dari guru Bimbingan dan Konseling, sehingga tercipta Sekolah Ramah Anak.

"Ini baru kegiatan awal. Kita sedang membuat program kegiatan selanjutnya secara teknis yang terfokus di wilayah Jabodetabek," tandasnya.

Sekolah Ramah Anak merupakan salah satu indikator Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) dan diatur dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 12/2011 tentang Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak Pasal 11.

Seiring dengan hal itu, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak kemudian menerbitkan Kebijakan Sekolah Ramah Anak (SRA) dalam bentuk Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI 8/2014 tentang Kebijakan SRA.

Penulis: Kharina Triananda/NAD


Tags: