Institusi Pendidikan Inklusif, Butuh Pendewasaan Empati

Institusi Pendidikan Inklusif, Butuh Pendewasaan Empati

Oleh: NURUL LATHIFFAH
SUATU hal yang menggembirakan, keberadaan institusi pendidikan inklusif yang ramah terhadap siswa difabel. Selama ini, akses pendidikan yang dinilai tidak adil antara lain disebabkan oleh akses pendidikan hanya terbatas bagi individu tertentu dan mengabaikan individu dengan kebutuhan khusus. Namun, seiring dengan berkembangnya sistem pendidikan yang lebih humanis, lambat laun kita tersadarkan dan menjadi memiliki sema-cam medan kesadaran untuk memberikan ruang kepada para difabel untuk ikut belajar, mengajarkan banyak hal seperti semangat hidup, kecerdasan berjuang, dan sikap bersyukur.

Pendidikan yang in-klusif berkontribusi dalam melakukan pendi-dikan karakter yang empati, toleran, dan santun pada "siswa" berkebutuhan khusus yang barangkali secara intelektual cerdas, namun memiliki keadaan fisik yang tidak sama dengan siswa pada umumnya. Meskipun demikian, kegembiraan kita tampaknya memang belum begitu bisa kita tampakkan. Memang, ada beberapa institusi yang siap menerima siswa difabel dengan lapang dada disertai beberapa kemudahan dalam akses memasukinya. Namun, kita tidak bisa menjamin apakah kaum difabel telah memiliki dan didukung oleh fasilitas yang layak untuk belajar?

Adalah sebuah hal yang mesti kita pahami, keistimewaan kaum difabel memerlukan empati kita. Mereka, dengan keadaan dan sumber daya fisik yang ber-beda dengan kita, memerlukan fasilitas khusus yang akan mampu memberikan support power dalam proses belajar. Hal ini, semestinya kita pahami dan kita sikapi dengan hati yang peka serta jernih. Mereka memerlukan piranti belajar yang khusus yang mesti dipenuhi agar mereka ma-mpu secara optimal menyerap informasi dan materi yang diberikan. Meski kita memiliki perasaan positif bahwa siswa difabel memiliki kemampuan yang peka, semua itu tetap harus diiringi dengan ke-tersediaan daya dukung fasilitas yang empati dan menenteramkan.

Perkembangan teknologi yang makin pesat, membuat kita bersyukur. Kini, ada beragam teknologi yang dapat digunakan oleh para difabel dalam rangka mendukung aktivitas belajar. Komputer yang menghasilkan bunyi tertentu dan sejumlah peralatan berbasis teknologi tentu akan memberikan kemudahan dan dukungan baik secara teknis bahkan emosional. Mengupayakan peralatan dan fasilitas bagi difabel yang memiliki tekad mulia untuk belajar, menuntut ilmu dan beribadah, sudah semestinya dilakukan oleh instansi yang telah berkomitmen untuk menjadi instansi inklusif. Perangkat teknologi semacam itu sangat kita perlukan. Namun, yang tidak kalah penting adalah dukungan sikap empati dan motivasional.

Mendukung sahabat-sahabat difabel dengan alat saja, tidaklah cukup. Dukungan emosional dan rasa empati harus diupayakan, bahkan seluruh komponen akademik, baik mahasiswa, dosen, maupun petugas harus selalu memiliki kepekaan perasaan dan tanggap terhadap keadaan. Terkait dengan hal ini, ada sebuah peristiwa yang membuat saya merasa terharu. Ini adalah tentang suatu kesempatan mahasiswa difabel memaparkan aspirasinya dengan santun dan lantang di beberapa fakultas salah satu PTN inklusif. Mereka, pejuang penuntut ilmu yang memiliki kekuatan tak terbatas itu, mengeluhkan tentang penataan parkir yang dilakukan mahasiswa dengan "semrawut" sehingga menyusahkan akses jalan menuju tempat-tempat tertentu. Bagi kita, hal ini sangat sederhana, tapi bagi sahabat-sahabat difabel kita, hal itu adalah suatu hal yang sangat merepotkan.

Kita bisa membayangkan, karena perilaku sebagian oknum yang tidak tertib dan disiplin, itu akan membahayakan sahabat-sahabat difabel. Sangat disayangkan, mahasiswa yang berada di wilayah PTN inklusif kurang memiliki kepekaan hati. Aspirasi ini, tentu hanya sedikit contoh kecil dari kekecewaan para difabel terhadap civitas akademik PTN inklusif yang kurang peka terhadap kebutuhan difabel.

Fenomena itu, hanyalah contoh kecil dari fenomena inklusif yang belum total. Pendidikan yang telah meniatkan untuk menjadi inklusif, semestinya melakukan pendewasaan empati terhadap segenap civitas akademik. Harapannya, kita akan mendapatkan para difabel itu lebih merasa nyaman, sedangkan civitas akademik PTN inklusif memiliki empati yang tulus, murni, dewasa, total, dan tulus. (Penulis, Aktivis Forum Kajian Perkembangan Lasiper UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.)


Tags: