Jurnal Ilmiah Perlu Akreditasi

Jurnal Ilmiah Perlu Akreditasi

JAKARTA (KR) - Supaya karya ilmiah dapat dipublikasikan di jurnal ilmiah, jurnal tersebut harus pula mendapatkan akreditasi. Demikian disampaikan Kepala Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII LIPI), Sri Hartinah, di kantornya PDII LIPI Jakarta, Selasa (7/2)

Karya ilmiah yang masuk direview oleh tim terlebih dulu. Baru kemudian karya tersebut diabstraksi dalam Bahasa Inggris hingga dibuatkan kata kuncinya. "Tentunya karya ilmiah itu juga harus menggunakan metode penelitian yang benar dan referensinya dari jurnal internasional," ucap Hartinah, seraya menyebutkan, supaya terdokumentasi di PDII harus mendaftarkan karya ilmiah tersebut.
"Daftar dulu ke PDII, setelah itu dapat ISSN, kalau mau terakreditasi penuhi syarat-syaratnya. Lalu setelah terdaftar berarti sah menjadi jurnal," jelasnya.
Dijelaskan Hartinah, di antara karya ilmiah untuk karya S1, S2 dan S3 memiliki karakter yang berbeda. Karya ilmiah mahasiswa S1 lebih pada mengkaji suatu kasus tertentu, S2 mencari penyebab mengapa kasus itu dapat terjadi dan S3 bagaimana penelitian hingga menjadi suatu temuan.
Setelah terdaftar resmi dan mendapatkan International Standar Serial Number (ISSN), syarat selanjutnya yang harus dipenuhi adalah menyesuaikan tata cara penulisan jurnal, mencantumkan abstraksi dan kata kunci dalam Bahasa Inggris, menggunakan metodologi dan tata cara penulisan ilmiah yang sesuai.
"Jangan lupa menggunakan referensi penulisan dari jurnal internasional, direview oleh para pakar dan minimal telah terbit selama tiga tahun berturut-turut," katanya.
Masih Rendah
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh mengatakan, kebijakan baru Dirjen Pendidikan Tinggi tentang semua mahasiswa semester akhir untuk program studi S1 harus membuat karya ilmiah yang dimuat di jurnal ilmiah, baik online maupun cetak, dimaksudkan sebagai penentu kelulusan mahasiswa. Selain itu, jurnal tersebut untuk menekan adanya plagiat di kalangan mahasiswa.
Mendikbud menjelaskan, dalam surat edaran bernomor 152/E/T/2012, yang diedarkan kepada Rektor/Ketua/Direktur PTN dan PTS di seluruh Indonesia itu, mulai berlaku bagi mahasiswa yang akan lulus setelah Agustus 2012. "Produk keilmuan tulisan itu sayang kalau tidak dipublikasikan. Akan lebih bermanfaat jika produk tersebut dikemas dalam standar penulisan karya ilmiah dan dipublikasikan, agar tidak ada yang mengulang suatu penelitian," ujar Nuh.
Dengan digenjotnya mahasiswa untuk menciptakan karya ilmiah yang dipublikasikan, Nuh berharap, dapat mempercepat pengembangan keilmuan. Dengan gerakan ini, hasil yang tadinya tidak terformulasikan dalam kaidah keilmuan bisa menjadi karya ilmiah dan kemudian dipublikasikan dalam jurnal.
Diakui Mendikbud, budaya menulis di kalangan mahasiswa Indonesia masih sangat rendah. Apalagi, jika dibandingkan dengan Malaysia, karya ilmiah di Indonesia baru sepertujuh dari jumlah karya ilmiah di Malaysia. Oleh karena itu, untuk menumbuhkan budaya menulis perlu dilakukan sebuah paksaan.
"Dikti ingin membangun, dan membangun itu harus dipaksa. Karena kalau menunggu kesadaran, kebanyakan sulit sadarnya. Tapi tidak semua paksaan itu negatif," kata Nuh.
Pihak universitas dan para mahasiswa tidak terlalu khawatir dengan kebijakan dan ketentuan tersebut. Pasalnya, karya tulis yang harus dikerjakan mahasiswa S1 tidak serumit yang dibayangkan. Diyakini, ketentuan itu tidak menghambat kelulusan para mahasiswa. "Pokoknya semua mahasiswa bisa menulis. Semua yang dikerjakan bisa dituangkan dalam bentuk makalah, yang bersangkutan bisa menulis praktik lapangan. Tidak sulit, paling antara 3 sampai 6 halaman, itu cukup," terang Mendikbud. (Ati)-o


Tags: