Jurnal Ilmiah untuk Lulus, Perlukah?

Jurnal Ilmiah untuk Lulus, Perlukah?

Surat edarat Dirjen Dikti tentang kewajiban mempublikasikan karya ilmiah di jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan S-1, S-2, dan S-3 menimbulkan keresahan di kalangan mahasiswa dan dosen. Keresahan itu bisa dimaklumi karena surat edaran itu terkesan tidak didasari pertimbangan yang cukup matang berdasarkan kondisi riil. Salah satu problem yang dikeluhkan adalah terbatasnya jumlah jurnal ilmiah di Indonesia. Kehidupan akademik bisa semakin kusut.

Seperti diketahui, beberapa waktu lalu Dirjen Dikti mengeluarkan surat edaran yang isinya ketentuan baru terkait syarat kelulusan mahasiswa (S-1, S-2, dan S-3). Untuk program sarjana wajib mempublikasikan makalah di jurnal ilmiah. Program magister harus menghasilkan makalah yang terbit di jurnal ilmiah nasional terakreditasi, dan program doktor harus menghasilkan makalah yang diterima untuk diterbitkan di jurnal internasional.

Alasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, ketentuan baru tersebut untuk membangun tradisi budaya menulis. Alasan itu segera saja memunculkan sederet pertanyaan yang menyangsikan kemanfaatan dan rasionalitas surat edaran tersebut. Apakah mewajibkan publikasi karya ilmiah sebagai syarat kelulusan bisa menjadi obat manjur untuk mengatasi kelesuan penulisan ilmiah? Apakah jurnal yang ada bisa menampung kebutuhan publikasi karya ilmiah itu?
Dalam catatan LIPI, hingga saat ini, jumlah jurnal ilmiah (cetak) di Indonesia hanya sekitar 7.000 buah. Dari jumlah tersebut, hanya 4.000 jurnal yang masih terbit secara rutin, dan sedikitnya hanya 300 jurnal ilmiah nasional yang telah mendapatkan akreditasi LIPI. Mendikbud memang memberikan kelonggaran untuk S-1 diperbolehkan jurnal apa saja, namun kebijakan ini pun tidak menyelesaikan masalah. Dibutuhkan satu juta lebih halaman pada jurnal untuk karya S-1.

Untuk S-2 dan S-3, persoalan menjadi lebih pelik lagi. Bisa dihitung, berapa halaman jurnal harus tersedia seandainya ada 5.000 calon magister tiap tahun. Dengan jumlah jurnal yang masih minim dibandingkan kebutuhan publikasi karya ilmiah itu, akan timbul ekses lanjutan. Upaya menerbitkan jurnal, sebagaimana disarankan Mendikbud kepada para pengelola pendidikan tinggi, semata-mata atas dasar kebutuhan itu akan menyurutkan kontrol kualitas.

Dikhawatirkan, akan bermunculan ’’jurnal abal-abal’’ (jurnal asal-asalan), entah itu jurnal cetak ataupun jurnal elektronik, karena terpacu motivasi ’’yang penting terpublikasi’’. Akibatnya, karya-karya yang dihasilkan bukan lagi karya bermutu melainkan karya asal-asalan dan pada gilirannya bukan budaya menulis yang terbangun. Membentuk budaya menulis seharus dimulai sejak pendidikan dini dengan menyediakan iklim kebebasan berpikir untuk kreativitas. (/)


Tags: