Kampus, Mahasiswa, dan Radikalisme

Kampus, Mahasiswa, dan Radikalisme

Kampus di Tanah Air patut was-was. Hal ini dipicu oleh sinyalemen gerakan kelompok Negara Islam Indonesia (NII) yang merangsek ke kehidupan mahasiswa di kampus-kampus. Sinyalemen ini patut dijadikan alasan karena akhir-akhir ini terbukti sejumlah mahasiswa menghilang secara mendadak di beberapa kampus. Pada tahun-tahun sebelumnya, kejadian serupa juga pernah melanda kalangan mahasiswa, tapi waktu itu disinyalir mahasiswa hilang karena direkrut oleh beberapa aliran sesat dan kelompok teroris.
Kejadian belakangan menyebutkan bahwa sebanyak 11 mahasiswa menghilang di Malang, Jatim. Kemudian muncul kabar adanya peristiwa penyekapan mahasiswa di Universitas Diponegoro Semarang. Kampus dan mahasiswa seakan menjadi lahan dan sasaran utama kelompok NII untuk merekrut anggotanya.
Kewaspadaan patut digalakkan oleh pihak perguruan tinggi untuk menangkal gerakan NII sedini mungkin. Kewaspadaan ini cukup beralasan, sebab, sikap mahasiswa terkadang mudah sekali menerima pengaruh-pengaruh baru. Mereka tidak menutup diri dengan hadirnya pemikiran-pemikiran baru karena pengaruh kondisi sosiologis mereka sebagai anak-anak muda yang sedang menggalang pergaulan seluas-luasnya.
Dalam rangka meredam gerakan NII agar tidak merangsek ke kehidupan mahasiswa, maka perguruan tinggi harus melakukan upaya sinergis dengan berbagai pihak. Terutama pihak pemimpin daerah yang di daerahnya banyak berdiri perguruan-perguruan tinggi.
Sebab, gerakan-gerakan kelompok sejenis NII bukan hanya menjadi problem kampus dan mahasiswa, tapi lebih merupakan problem bersama warga masyarakat luas, bahkan problem warga bangsa secara nasional.
Begitu pula, sikap mahasiswa itu sendiri dan dukungan kuat dari pihak kampus adalah upaya lain yang mesti diperhatikan agar gerakan-gerakan kelompok yang cenderung mengedepankan eksklusivitas seperti itu tidak merangsek ke kehidupan mahasiswa.
Upaya lain yang juga patut dijadikan alternatif untuk membendung gerakan NII adalah bahwa perguruan tinggi harus menemukan konsep pengajaran yang bisa di-inklud-kan dalam kurikulum untuk memproteksi mahasiswa dari ajaran-ajaran kelompok yang eksklusif.
Kampus memang bukanlah lembaga yang memiliki otoritas penuh untuk melarang berkembangnya aliran-aliran di Indonesia yang cenderung menyimpang. Tetapi, perguruan tinggi mempunyai tangung jawab moral untuk menyelamatkan mahasiswa dari gerakan-gerakan kelompok yang cenderung menyimpang dan tidak diakui oleh negara. Apalagi, jika kelompok-kelompok itu beraroma gerakan terorisme sebagaimana pernah terjadi tahun lalu, di mana perguruan tinggi disinyalir menjadi sarang kelompok teroris.
Perguruan tinggi sepertinya telah menjadi kawasan yang potensial bagi hidup dan tumbuhnya kelompok-kelompok ekslusif. Dan, mahasiswa seakan juga menjadi kalangan yang potensial untuk direkrut menjadi anggota, tak terkecuali gerakan kelompok NII. Untuk itu, kewaspadaan memang telah menjadi suatu keharusan yang tak bisa ditawar-tawar lagi oleh perguruan tinggi untuk menangkal gerakan kelompok-kelompok ekslusif yang kini memang gencar masuk ke dunia kampus serta kehidupan mahasiswa.
Di sisi lain, sebagai upaya alternatif, pihak kampus bisa bersinergis dengan lembaga kemahasiswaan dan organisasi-organisasi kemahasiswaan untuk memproteksi diri mereka dari pengaruh gerakan kelompok NII yang kini kian meresahkan masyarakat. Apalagi, jaringan ini, kini terus dalam pengawasan dan telah dijadikan sebagai buruan negara.
Selain itu, para dosen pun tidak kalah pentingnya dalam upaya memproteksi mahasiswa agar tidak terjatuh ke dalam gerakan kelompok NII. Secara akademis, peran dosen adalah memberikan penyadaran di saat sedang mengajar, dan bisa pula melakukan pendekatan-pendekatan emosional, baik melalui bimbingan dan sharing.
Setuju atau tidak, gerakan-gerakan ekslusif memang seharusnya dijauhkan dari kehidupan kampus dan mahasiswa. Mahasiswa adalah harapan masa depan serta calon pemimpin di masa mendatang sehingga kewajiban mereka adalah menjadi garda terdepan di setiap agenda perubahan. Jadi, bukan malah bergabung dengan gerakan-gerakan atau kelompok-kelompok yang justru ingin menciptakan disintegrasi bangsa serta memporak-porandakan fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah terbangun dengan kokoh, bahkan sejak lama. Dan, adapun tugas hari ini ialah melakukan perbaikan dalam terminologi perubahan agar bangsa ini tetap berdiri kokoh di atas dasar persatuan dan kesatuan, serta kebersamaan.
Gerakan dan kelompok yang cenderung ingin membuat kegaduhan di Tanah Air telah melanggar aturan negara dan patut untuk dijadikan sebagai musuh bersama (common enemy). Tak terkecuali, mahasiswa yang notabene adalah kaum intelektual muda, mereka harus segera memproteksi diri masing-masing dari gerakan serta kelompok yang justru akan mencoreng citra mereka di mata masyarakat.
Karena, bagaimana pun, kelompok-kelompok eksklusif di mata masyarakat adalah sesat, sebab, berlainan dengan norma serta kebenaran umum yang dipahami dan dilihat oleh masyarakat. Begitulah... ***
Penulis adalah peneliti muda Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.


Tags: