KH Afifuddin Muhadjir; Mengapa Kita Menerima Pancasila?

KH Afifuddin Muhadjir; Mengapa Kita Menerima Pancasila?

Surabaya (Pendis) - Pertemuan dosen Pendidikan Agama Islam (PAI) pada Perguruan Tinggi Umum (PTU) di Wilayah Jawa Timur yang didesain dalam pertemuan Peningkatan Pembelajaran PAI pada PTU Angkatan ke-3 diselenggarakan di Surabaya. Pertemuan dilaksanakan sejak tanggal 2 s/d 4 Mei 2018. Forum menghadirkan KH Afifuddin Muhajir, salah satu pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur. Dengan menjelaskan landasannya pada ajaran kitab suci dan kaidah-kaidah fiqhiyah, KH Afif menjabarkan secara gamblang dalam memandang Pancasila dan juga amaliah-amaliah agama di wilayah nusantara.

Menurut Nurul Huda, Kasubdit PAI pada PTU, orang-orang seperti KH Afifuddin dihadirkan karena ia adalah seorang ulama yang ahli di dalam ushul fiqh. "Bagaimana ajaran Islam menjelaskan tentang fakta penerimaan ulama atas pancasila dan tradisi lokal yang bersandingan dengan ajaran Islam," terang Nurul berargumen. Maka dari itu, dalam laporan yang disampaikan oleh Anis Masykhur, Kasi Bina Akademik PAI pada PTU, bahwa tema yang diberikan kepadanya adalah Dialektika antara Islam Indonesia dengan Islam Arab. "Sengaja tema ini diangkat untuk membekali bagi bagi kita para dosen yang sering ditanya berulang-ulang oleh masyarakat dan juga mahasiswa," jelas Anis Masykhur.

KH Afif menyampaikan tiga perspektif yang menjadi alasan umat Islam menerima Pancasila. Ketiga perpektif tersebut adalah pertama bahwa pancasila tidak bertentangan dengan syariat Islam (la yukhalif as-syari`ah), dan tidak ada satu ayat pun yang berbeda dengan syariat Islam yang ada pada kitab suci Al-Quran. Pandangan kedua pancasila dinyatakan selaras dengan syariat (yuwafiq as-syariah) karena ajaran-ajaran di dalamnya mengajarkan kebaikan dan dibuat untuk kemaslahayan ummat. Dan pendapat ketiga, melihat bahwa pancasila itu adalah cerminan implementasi sebagian syariat Islam (huwa asy-syari`ah bi`ainiha).

Maka dengan tiga perpektif tersebut, para ulama Indonesia saat itu menyadari bahwa menjalankan pancasila sama saja dengan menjalankan syariah. Inilah yang disebut sebagai jalan tengah (tawassuth). KH Afif juga menjelaskan makna tawassuth lebih detail. Ada tiga terma untuk menjelaskannya, bahwa yang dimaksud dengan jalan tengah adalah (1) "laysa hadza wa dzaka" (tidak masuk dalam terma ini ataupun itu). Contoh yang disodorkan adalah perintah Allah Swt dalam Al-Quran yang melarang berinfak secara berlebih-lebihan atau sebaliknya (kikir). Dalam ayat lain juga ada larangan untuk memamerkan shalatnya atau sebaliknya menyembunyikannya. Makna tawassuth yang kedua adalah "al-jam`u bayna hadza wa dzaka" (mengumpulkan antara ini dan itu). Contoh yang dikemukakan adalah metode yang digunakan Abu Hasan Asy`ary yang kemudian melahirkan teologi atau aqidah jalan tengah--yang selanjutnya dikenal dengan aqidah asy`ariyah. Konsep teologi tersebut dirumuskan setelah meneliti teologi mu`tazilah yang terlalu mendewakan akal, atau murji`ah yang mengagungkan teks. Ketiga, dimaknai dengan "tidak mengesampingkan realitas" (al-waqi`iyah). Contoh yang bisa ditampilkan adalah kondisi masyarakat Indonesia yang berbeda-beda budaya dan suku, beraneka ragam bahasa, bahkan beragam agama.

Karena hal-hal itulah, para ulama merelakan untuk "an-nuzul min al-matsal al-a`la ila al-waqi` al-adna" (menurunkan idealismenya disesuaikan dengan kondisi empiris). "Maka tanpa Pancasila, bisa jadi saat ini belum ada Indonesia," jelas KH Afif menegaskan. Penjelasan teori tentang tawasuth ini juga dijadikan dasar penerimaan umat Islam atas ajaran Islam yang bersinergi dengan budaya-budaya lokal, yang kemudian dikenal dengan Islam Nusantara.

KH Afif menjelaskan makna dalam istilah Islam Nusantara setidaknya dengan tiga penafsiran. Pertama, yang dimaksud dengan Islam Nusantara adalah Islam yang didakwahkan di wilayah nusantara. Kedua, Islam dipahami oleh masyarakat nusantara. Ketiga, Islam yang diikuti oleh masyarakat nusantara. Munculnya corak tersebut dikarenakan para ulama penyebar Islam pertama di bumi nusantara sudah melihat bahwa "nilai-nilai baik" penghuni bumi nusantara sudah dipandang sejalan dengan "islam" minus syahadat. Maka dari itu, tradisi yang berkembang dibiarkan bahkan ada yang disinergikan dengan ajaran Islam. Ulama datang tidak membawa budaya di mana Islam itu lahir.

Penjelasan KH Afifuddin ini kemudian diulas kembali oleh Dr Yusuf Hanafi, ketua Dewan Pimpinan Wilayah ADPISI Jawa Timur yang juga dosen Universitas Negeri Malang. Menurutnya, penjelasan kiai pengasuh pesantren Situbondo tersebut cukup memberikan pencerahan bagi peserta forum pertemuan kali ini. (n15/dod)


Tags: