Kurikulum Kita Tak Dukung Pembentukan Generasi Idaman

Kurikulum Kita Tak Dukung Pembentukan Generasi Idaman

JAKARTA (Suara Karya): Anggota Fraksi Partai Golkar di DPR RI, Fayakhun Andriadi mengaku kecewa, karena kurikulum pendidikan kita tidak mendukung bagi pembentukan generasi idaman, yang cakap pengaruhi kehidupan.
"Saya melihat, salah satu kelemahan mendasarnya adalah, bahwa kurikulum sekolah melupakan pemberdayaan kecakapan manusia secara paripurna," katanya kepada ANTARA, di Jakarta, Sabtu.
Padahal, menurut legislator yang tengah menuntaskan studi doktornya di Universitas Indonesia (UI) ini, setiap manusia memiliki dua sisi otak dan sama-sama harus mendapat asupan gizi, agar dia berkembang secara paripurna, yaitu otak kiri dan otak kanan.
"Ini yang kurang mendapat atensi serius dan terlihat pada kurikulum pendidikan kita yang tak memberi ruang maksimal pada pengembangan secara seimbang kemampuan otak kiri maupun otak kanan dari para peserta didik (murid)," ujarnya.
Otak kiri, demikian Fayakhun Andriadi, berkaitan dengan `Intelligence Quotient` (IQ) seperti hal perbedaan, angka, urutan, tulisan, bahasa, hitungan dan logika.
"Daya ingat otak kiri bersifat jangka pendek (`short term memory`). Sementara otak kanan berkiatan dengan `Emotional Quotient` (EQ), seperti hal iman, persamaan, khayalan, kreativitas, bentuk atau ruang, emosi, musik dan warna," ungkapnya.
Lebih dari itu, lanjut Fayakhun Andriadi, daya ingat otak kanan bersifat jangka panjang (`long term memory`).
Fenomena Sosial Paradoks
Anggota Komisi I DPR RI (bidang Hankam) ini mengkhawatirkan, dari sisi ketahanan bangsa ke depan, pola pendidikan dengan kurikulum yang tak seimbang seperti sekarang, sulit melahirkan kader dan generasi pemimpin bermental tangguh, menghadapi kompetitifnya percaturan global.
"Tengok saja pendidikan kita sekarang hanya fokus pada pemberdayaan otak kiri (IQ) dan melupakan pemberdayaan kecakapan otak kanan," katanya.
Ini, menurutnya, tidak bisa dibiarkan berlarut, tanpa perubahan ke arah lebih baik.
"Namun kondisi sekarang itu juga bukan berarti sekolah hanya memberikan mata pelajaran seperti matematika, bahasa, dsb, lalu melupakan pelajaran agama, etika, menggambar, dan semacamnya," ujarnya.
Akan tetapi, demikian Fayakhun Andriadi, semua pelajaran diajarkan dengan pendekatan `hafalan`, bahkan pelajaran agama dan etika sekalipun.
"Seperti misalnya dalam pelajaran agama, anak didik hanya dijejali pengetahuan yang bersifat definitif dan harus dihafal (apa itu rukun iman, rukun Islam, berupa jumlah nabi, berapa rukun shalat, kapan perang badar, dst)," jelasnya.
Jadi, menurutnya, bukan mengarahkan anak menghayati nilai-nilai terdalam dari ajaran agama tersebut.
"Sehingga tidaklah heran jika melihat fenomena sosial yang paradoks, yakni beribadah rajin, korupsi juga rajin. `Ngomong agama fasih, melakukan tindakan amoral juga hebat," pungkas Fayakhun Andriadi.(Antara)


Tags: