Madrasah: Kemenag atau Kemdikbud

Madrasah: Kemenag atau Kemdikbud

Yogyakarta (KR) Perbincangan tentang madrasah, utamanya Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) yang setara SD, Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) yang setara SMP dan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) yang setara SMA, kini mengha-ngat kembali. Pasalnya, ada gagasan memindahkan pembinaan madrasah negeri dari Kementerian Agama (Kemenag) ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) untuk meningkatkan mutu. Wacana ini bahkan menghangat di Komisi VIII DPR RI, salah satu komisi DPR yang membidangi soal agama, sosial dan pemberdayaan perempuan. Hal tersebut juga disampaikan oleh Kepala Kantor Wilayah Kemenag RI Provinsi DIY, Maskul Haji, di depan peserta ‘Workshop Living Values Education’di Yogyakarta baru-baru ini. Menurutnya, terdapat dukungan yang sangat kuat dari Komisi VIII DPR RI untuk memasukkan ketiga jenis madrasah negeri tersebut ke Kemdikbud (baca: KR, 20 Feb 2012). Seperti kita ketahui selama ini madrasah negeri dan swasta berada di bawah pembinaan Kemenag, khususnya Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis), lebih khusus lagi di bawah pembinaan Direktorat Pembinaan Madrasah (Ditbin Madrasah). Ciri Khas Madrasah Secara etimologis madrasah tidak berbeda dengan sekolah disebabkan kata madrasah (dari asal kata darasa/darosa) yang artinya sekolah; namun dalam praktik antara madrasah dengan sekolah sangatlah berbeda. Kalau sekolah itu bersifat umum maka madrasah cenderung bersifat keagamaan yang dalam hal ini adalah agama Islam. Secara historis asal muasal madrasah dimulai semenjak zaman Nabi Muhammad SAW di rumah Abu Abdillah al-Arqam bin abi al-Arqam di Mekah tempat nabi pertama kali mendirikan ‘sekolah’bagi masyarakat sekitar. Itulah sebabnya sampai kini pendidikan di madrasah masih kental dengan ilmu keagamaan yang dalam hal ini adalah agama Islam. Di Indonesia, munculnya madrasah tidak dapat dilepaskan dari kebe-radaan lembaga pesantren salafiyah dan para kiai yang mengajar sekaligus mengelola lembaga pesantren itu sendiri. Asal muasal tumbuhnya madrasah di Indonesia dimulai dari pesantren yang waktu itu berkembang pesat di tengah masyarakat luas. Kalau dalam realitasnya sekarang banyak madrasah yang ‘terlepas’dari pesantren kiranya hal itu hanya bersifat hubungan kelembagaannya; sedangkan masalah kekentalan keagamaannya tidak mungkin dilepaskan sama sekali. Kekentalan akan ilmu keagamaan itulah ciri khas madrasah dibanding sekolah. Hal inilah yang secara historis menjadi faktor penentu mengapa madrasah berada di bawah pembinaan Kemenag dan bukan Kemdikbud. Ciri khas kedua, madrasah di Indonesia itu pada umumnya ialah swasta dan bukan negeri dikarenakan tumbuhnya madrasah itu murni dari kelom-pok masyarakat dan bukan dari pemerintah. Kalau kita melihat data yang ada di Kemenag pusat, lebih dari 90 persen MI, MTs dan MA itu adalah madrasah swasta. Untuk tahun 2009/2010, dari 42.158 MI, MTs dan MA di Indonesia maka 38.317 atau 90,89 persen di antaranya adalah madrasah swasta yang nota bene diselenggarakan oleh masyarakat; dan hanya 3.841 atau 9,11 persen yang merupakan madrasah negeri. Adapun rincinya adalah sbb: kita memiliki 22.239 MI, sebanyak 20.564 atau 92,47 persen adalah MI swasta dan hanya 1.675 atau 7,53 persen MI negeri. Kita memiliki 14.022 MTs, sebanyak 12.604 atau 89,89 persen adalah MTs swasta dan hanya 1.418 atau 10,11 persen MTs negeri. Sementara itu kita memiliki 5.897 MA, sebanyak 5.149 atau atau 87,32 persen adalah MA swasta dan hanya 748 atau 12,68 persen MA negeri. Ciri khas keswastaan itu juga merupakan faktor lain yang menentukan posisi madrasah di bawah pembinaan Kemenag, dan bukan Kemdikbud. Secara empiris Kemdikbud memang juga menangani sekolah swasta bahkan dulu pernah dibentuk direktorat khusus yang menangani sekolah-sekolah swasta, namanya Direktorat Sekolah Swasta (DSS), akan tetapi persentase jumlah sekolah swasta di Kemdikbud tidaklah setinggi persentase jumlah madrasah swasta di Kemenag. Kedua ciri khas madrasah tersebut haruslah mendapatkan pertimbangan kalau ada wacana untuk memindahkan sistem pembinaan madrasah dari Kemenag ke Kemdikbud. Tanpa mempertimbangkan ciri khas tersebut maka wacana tersebut hanya akan menciptakan kerumitan. Tidak Bijak Kalau kita mau jujur, wacana pemindahan sistem pembinaan madrasah dari Kemenag ke Kemdikbud sebenarnya sudah pernah menghangat pada beberapa tahun yang silam. Ketika terjadi keputusan politik bahwa urusan pendidikan didesentralisasi atau didaerahkan sementara urusan agama tetap disentralisasi atau dipusatkan maka wacana tersebut pernah menghangat. Bedanya adalah, kalau dahulu wacana pemindahan sistem pembinaan menyangkut seluruh madrasah baik negeri maupun swasta; sedangkan saat ini wacana pemindahan sistem pembinaan menyangkut madrasah negeri saja tanpa mengikutkan madrasah swasta. Terlepas dari tujuan pemindahan sistem pembinaan tersebut adalah untuk meningkatkan mutu tetapi kalau yang dipindahkan pembinaannya hanya madrasah negeri saja hal itu jelas tidak bijak. Bayangkan kalau nanti MI, MTs dan MA negeri dibina langsung oleh Kemdikbud, sementara MI, MTs dan MA swasta dibina langsung oleh Kemenag. Kalau hal ini terjadi pasti akan muncul ketidak-harmonisan di lapangan; baik antara siswa, guru dan kepala madrasah maupun di antara petugas pembina madrasah dari dinas pendidikan dengan kantor Kemenag. Kebijakan pembinaan MI, MTs dan MA negeri pun akan berbeda dengan swasta. Kemdikbud memang berpengalaman membina sekolah yang bernuansa umum tetapi tidak berpengalaman membina madrasah yang ken-tal dengan nuansa keagamaan. Dikhawatirkan kalau MI, MTs dan MA negeri dibina oleh Kemdikbud nantinya akan menonjol ‘keumumannya’saja, sementara itu kalau MI, MTs dan MA swasta dibina oleh Kemenag nantinya akan menonjol ‘keagamaannya’ saja. Wacana untuk meningkatkan mutu madrasah tentu perlu diapresiasi akan tetapi jangan dengan membedakan sistem pembinaan antara MI, MTs dan MA negeri dengan swasta. Itu berbahaya !!! q - k. (204 - 2012). *) Prof Dr H Ki Supriyoko SDU MPd, Pengasuh Pesantren ‘Ar-Raudhah’ Yogyakarta serta guru besar pada UST Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UNU Surakarta, Unisma Malang dan Unsuri Surabaya.


Tags: