Membebaskan dari Stres UN

Membebaskan dari Stres UN

Wacana (Suara Merdeka) - Rangkaian kegiatan ujian akhir segera dimulai, diawali ujian kelas XII (tingkat SMA) dan diakhiri ujian kelas VI (SD). Sekolah dan pemangku kebijakan telah mempersiapkan banyak hal, dari pemberian les tambahan, tryout, sampai menggelar doa bersama di sekolah yang kadang melibatkan orang tua siswa, dan guru.

Kita sering membaca di koran atau melihat tayangan siswa menangis usai doa bersama yang adakalanya diselingi acara sungkeman meminta restu kepada orang tua yang didatangkan ke sekolah. Ada kesan begitu mencekam suasana menjelang ujian itu, yang justru mengundang kekahawatiran siswa stres sebelum menjalani ujian itu. Beleid sekolah yang menargetkan hasil maksimal patut kita acungi jempol. Tapi bagaimana dengan siswa dan guru sebagai pelaksananya.

Mereka bukan robot yang menjalani program tanpa rasa. Beban berat siswa akan tampak ketika orang tua berpandangan hasil UN berdampak pada keberterimaan anak mereka di sekolah favorit. Hal ini menyebabkan sebagian orang tua ikut menekan anak mereka, semisal memaksa ikut les atau bimbel. Menyedihkan, mendekati hari H, banyak siswa mengalami kelelahan fisik dan psikis. Bagi siswa yang menginjak usia remaja atau dewasa, mungkin tidak terlalu berdampak mengingat biasanya sudah kesadaran tinggi. Namun hal itu berbeda dari murid tingkat SD. Mereka cenderung mengikuti banyak jadwal yang ditetapkan sekolah dan orang tua di rumah. Sekilas memang baik mempersiapkan anakanak itu supaya bisa menjalani ujian dengan hasil maksimal. Tapi kadang sebagian orang tua lupa bahwa anak mereka mengalami kelelahan psikis. Kecemasan dan waswas muncul ketika hasil tryout tidak menunjukkan prestasi seperti diharapkan, terutama diharapkan orang tua.

Orang tua tadi biasanya melecut anak untuk lebih giat lagi belajar, termasuk wajib mengikuti tryout. Padahal berdasarkan pengalaman empiris, prestasi siswa yang lelah psikis biasanya menurun tatkala ujian sebenarnya tiba. Beban berat guru dan siswa tidak hanya itu. Wacana UN online menjadi hal baru yang harus mereka hadapi, kendati masih sebatas sekolah yang menjadi sampel program. Hal ini tetap menjadi dilema tersendiri bagai sekolah, guru, dan siswa. Secara teoretis ujian nasional online ini berdampak positif, antara lain validitas hasil, peminimalan kecurangan, dan hemat biaya. Sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara UN manual yang yang selama ini dilaksanakan dan UN online yang memang mensyaratkan penggunaan teknologi informatika dan komputer (TIK). Pasalnya ujian online yang dalam terminologi kementerian disebut model ujian berbasis komputer atau computer-based test (CBT) mutlak harus memakai internet.

Kesiapan Pendidik Dalam UN manual, pengerjaan dilakukan pada lembar jawaban komputer (LJK) dan baru diproses memakai TIK (pemindai/scan). Adapun dalam UN online, siswa harus menjawab ujian langsung secara online. Berdasarkan hal tersebut, maka hendaknya sekolah tidak membuat kebijakan kontroversial dalam meningkatkan keberhasilan siswa dalam menempuh ujian nasional. Fakta empiris menunjukkan sekolah telah mempersiapkan berbagai hal, dari peranti lunak hingga peranti keras. Fakta lain menunjukkan bahwa kualitas pendidikan bisa terlihat dari peningkatan layanan dan pemerataan akses. Sementara peningkatan layanan dan pemerataan akses bergantung pada kesiapan tenaga pendidik.

Secara tidak langsung kita dapat mengatakan bahwa kesiapan ujian nasional onlinebergantung pada sekolah dalam penyelenggaraannya. Adapun siswa, hanya menyangkut kesiapan seperti halnya mereka menjawab melalui LJK. Hal ini berarti jangan sampai terjadi penekanan yang berlebihan dalam ujian nasional. Jangan sampai kebijakan baru malah melahirkan kebingungan dan stres di kalangan siswa, termasuk orang tuanya. Kita perlu menyeru save UN, dan save siswa dari stres UN. (10)

— Dr Ngurah Ayu Nyoman Murniati MPd, dosen Universitas PGRI Semarang (UPGRIS)


Tags: