Mendongkrak Kompetensi Guru

Mendongkrak Kompetensi Guru

Wacana (Suara Merdeka)- KOMPETENSI guru sangat berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar siswa. Guru yang kompetensinya tinggi akan melaksanakan pembelajaran secara menarik, menyenangkan, dan penuh makna.

Imbasnya siswa belajar dengan semangat, rajin, dan mampu berprestasi. Sebaliknya, guru yang kompetensinya rendah cenderung monoton dalam pembelajarannya, kurang menarik, dan miskin ide-ide kreatif. Akibatnya, suasana pembelajaran di kelas membosankan dan kurang menantang. Jangan harapkan siswa dapat berprestasi dalam suasana kelas seperti ini.

Capaian rerata ini sesungguhnya sudah melampaui target nasional sebesar 55 pada tahun 2015. Sesuai dengan Peraturan Presiden RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2015-2019 bahwa target capaian rerata kompetensi guru sampai dengan tahun 2019 harus mencapai 80. Angka ini meningkat dari target tahun 2015 sebesar 55, tahun 2016 sebesar 65, tahun 2017 sebesar 70, dan tahun 2018 sebesar 75. Namun, kalau kita cermati lebih detail distribusi capaian itu tidak merata di seluruh provinsi di Indonesia.

Dari 34 provinsi yang ikut UKG hanya 13 provinsi yang rata-rata capaiannya di atas 55, sementara 21 provinsi lainnya di bawah rata-rata 55. Khusus Jawa Tengah rataratanya mencapai 63,3 dan menduduki peringkat kedua nasional di bawah DI Yogyakarta.

Sebanyak 61% guru yang diuji rata-rata nilainya 60 ke bawah. Angka 60 itu kalau dikonversi ke dalam nilai perkuliahan sama dengan nilai C di negara berkembang, dan sama dengan nilai D di negara-negara maju. Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan mengingat tantangan pendidikan yang semakin kompleks.

Guru Pembelajar

Lalu, apa tindak lanjut dari proses yang dahulu sempat menimbulkan hiruk pikuk dan memancing protes dari sebagian guru dan organisasi profesi ini ?

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menyiapkan program yang disebut Guru Pembelajar. Istilah Guru Pembelajar dicetuskan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan dengan menggambarkannya sebagai guru ideal yang terusmenerus belajar dan mengembangkan diri di setiap saat dan di mana pun.

Ketika seorang guru memutuskan untuk berhenti atau tidak mau belajar, maka pada saat itu ia berhenti menjadi guru atau pendidik. Istilah Guru Pembelajar digunakan untuk menggantikan istilah Diklat yang kerap dijadikan alasan bagi sebagian guru untuk menutupi komptensinya yang kurang. Ketika seorang guru dikatakan memiliki kompetensi rendah, mereka sering beralasan bahwa ia tidak pernah dikirim Diklat oleh sekolah atau pemerintah daerahnya. Selama ini guru lebih senang memosisikan diri sebagai objek dalam peningkatan kompetensinya.

Mereka mengembangkan pengetahuan dan keahliannya menunggu uluran tangan pemerintah. Penggunaan isitlah Guru Pembelajar diharapkan mampu mengubah mindset ini. Pengembangan kompetensi guru harus menjadi kebutuhan guru itu sendiri. Mereka harus secara sadar dan aktif merencanakan, melaksanakan, dan melaporkan sendiri proses untuk menaikkan derajat pegetahuannya ini. Guru harus menjadi subjek dalam arus permainan di mana guru menjadi pusat dari permainan tersebut.

Ada beberapa kendala yang mengadang. Yang paling utama adalah masalah dana karena pemerintah pusat tidak menyediakan dana sepenuhnya. Salah satu lembaga yang diserahi tanggung jawab untuk menangani masalah ini, Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK), menghitung satuan biaya tiap guru sekitar Rp 1.250.000.

Dengan asumsi jumlah guru 2.699.516 maka dibutuhkan anggaran sekitar Rp 3,4 triliun. Jumlah ini tentu saja tidak kecil. Keterbatasan anggaran ini rencananya akan dibebankan kepada daerah dan guru.

Khusus guru diasumsikan bersumber dari tunjangan profesi yang diterimanya. Permasalahannya, tidak semua daerah memiliki dana yang cukup untuk alokasi ini, lebih-lebih program ini muncul di pertengahan tahun. Guru juga belum tentu menyambut baik kebijakan ini.

Di samping belum adanya kesadaran dari diri sendiri, belum ada regulasi yang memayunginya. Meskipun sesungguhnya guru punya kewajiban untuk mengalokasikan tunjangan yang diterimanya untuk pengembangan keprofesiannya.(47)


Tags: