Menggagas Pendidikan Antikorupsi

Menggagas Pendidikan Antikorupsi

WACANA pendidikan antikorupsi kini mengerucut pada tingkat aplikasi. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) bersama Komisi Pemberantasan Korupsi bekerja bareng mengimplementasikan gagasan pendidikan antikorupsi pada semua jenjang pendidikan, sekolah dini sampai perguruan tinggi (PT) mulai tahun ajaran 2012/2013.
Semangat pendidikan antikorupsi diilhami fenomena sosial yang terjadi di negeri ini. Tindak kejahatan dan praktik korupsi telah mencapai tingkat mengerikan. Reformasi birokrasi yang diharapkan dapat mengurangi perilaku korup masyarakat senyatanya belum bisa diandalkan.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat, selama tujuh tahun pemerintahan SBY tak kurang Rp 103 triliun dana pembangunan negara dirampok. Sementara itu, Transparency International (TI) memperkuat kajian IMF menghasilkan survei mengejutkan mengenai korupsi di negeri ini. Pada 2010, hasil survei TI menyebutkan, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia berada pada peringkat 110 dari 178. Itu artinya, prestasi korupsi di Indonesia masih terbilang tinggi dibanding negara lain. (Bambang Soesatyo, dalam buku Perang-Perangan Melawan Korupsi, 2011).
Miris memang. Angka korupsi di negeri ini terbilang tinggi. Parahnya lagi, praktik korupsi juga terjadi dalam sektor pendidikan. Bank Dunia pada 2005 dan data ini belum menunjukkan perubahan signifikan, menyebutkan bahwa tingkat kebocoran anggaran bidang pendidikan di negara berkembang (termasuk Indonesia) mencapai 80 persen.
Di tengah menjamur korupsi, ide pendidikan antikorupsi menemukan momentumnya. Dalam arti, ide ini menjadi relevan diterapkan di institusi pendidikan, sekolah maupun PT. Lembaga pendidikan yang diimpikan dapat menjadi percontohan sektor lain dalam mengurangi bahkan memberantas praktik korupsi.
Tantangan Krusial
Konsep pendidikan antikorupsi tak hanya berhenti pada tingkat ide, atau setengah hati dalam praktik. Gagasan brilian sejatinya diwujudkan secara riil dan holistik. Maka dari itu, perombakan mendasar tak hanya pada tataran menyusun kurikulum antikorupsi melainkan bidang lain dalam internal pendidikan seyogianya disentuh pemangku kebijakan pendidikan (stakeholders)—agar perubahan secara menyeluruh dalam kaitannya dengan implementasi pendidikan antikorupsi dapat terlaksana sebagaimana diharapkan.
Jika benar Kemdikbud dan KPK serius menerapkan pendidikan antikorupsi maka mau tidak mau, perubahan secara signifikan mesti terjadi di dalam dunia pendidikan. Paling tidak, ada enam ciri pendidikan dikatakan bebas korupsi menurut Stephen P Heynemen (2002). Di antaranya: (1) adanya kesetaraan kesempatan pendidikan, (2) tercapainya keadilan dalam distribusi sarana pembelajaran yang memadai terhadap seluruh sekolah, (3) transparansi dalam seleksi masuk, (4) memiliki sistem akreditasi yang memadai terhadap manajemen dan guru sekolah serta ditangani secara independen oleh kelompok profesional, (5) keadilan dalam proses pelayanan dan tak ada lagi diskriminasi di sekolah dalam pelbagai bentuk apa pun, (6) ketersedian guru beretika dan punya kapasitas.
Syarat-syarat tersebut merupakan hal mendasar disediakan stakeholders pendidikan bila ingin pendidikan antikorupsi dapat berjalan optimal. Infrastruktur pendukung sebagaimana disebutkan Stephen adalah hal mutlak dilaksanakan pihak terkait. Tanpa itu semua, mustahil pendidikan antikorupsi bisa terwujud seperti yang kita idamkan bersama.
Tentu, bukan perkara mudah mewujudkan pendidikan antikorupsi. Tantangan krusial siap menghadang. Tidak saja soal konsep yang realistis mesti dipikirkan, namun masalah non teknis merupakan tantangan mesti dialami Kemendikbud maupun KPK ke depan. Pada titik itu, dibutuhkan kerja kolektif kelembagaan dengan melibatkan pelbagai unsur dan elemen pendidikan adalah keniscayaan.
Artinya, implementasi gagasan pendidikan antikorupsi butuh dukungan elemen lain, seperti, budaya, lingkungan, birokrasi, infrastruktur, kultur dan dinamika (politik) pendidikan, sumber daya manusia, dan kesadaran masyarakat akademik secara kolektif.
Dukungan itu bukan saja berguna secara konseptual/teoretis pendidikan antikorupsi, tapi juga memacu adanya sumber daya manusia terdidik yang unggul dengan pelbagai sifat diharapkan. Yakni ilmuwan tak saja pintar secara intelektual dan memiliki kecerdasan religius, tapi juga kepribadian baik, tanggung jawab, pantang menyerah, jujur, kerja keras, kreatif, mandiri, peduli, eksistensinya bermanfaat bagi masyarakat, dan tak korupsi. q - s
*) Andi Andrianto, pegiat
di Mozaik Institute Yogyakarta.


Tags: