Menguji Semangat dan Kejujuran

Menguji Semangat dan Kejujuran

Tajuk Rencana (Suara Merdeka) - Era baru Ujian Nasional diawali hari ini. UN SMA/ SMK sederajat akan berlangsung 13-15 April. Ujian kali ini tak lagi menjadi momok dan penebar horor seperti sebelumnya. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengubah model UN bukan penentu kelulusan yang sepenuhnya menjadi wewenang sekolah. Namun di balik itu, ada kekhawatiran akan mengendurnya semangat belajar siswa, yang berdampak pada penurunan kualitas dan pencapaian nilai UN.

Seperti tahun lalu, kegairahan UN terus menurun. Tidak ada keriuhan penyambutan. Pencetakan dan distribusi soal sepi dari pemberitaan. Guru, sekolah, lembaga bimbingan belajar, les privat, dan try out tidak "sehangat" dulu menyambut ujian tahunan ini. Dulu, banyak kepentingan yang ”menumpang”. Politisasi pun tak terhindarkan. Setiap daerah berlomba meraih prestasi tinggi dengan menghalalkan segala cara, karena UN juga prestasi politik kepala daerah.

Maka saat ujian ini "bebas" dari kepentingan politik, menjadi tanggung jawab guru, siswa, sekolah, dan orang tua untuk mengembalikan kemurniannya sebagai ujian tingkat nasional. Semua stakeholder, utamanya siswa-guru-sekolah patut menyadari, beragam penyimpangan dan kecurangan di masa lalu kontraproduktif dengan upaya peningkatan kualitas. Juga merusak sendi-sendi pendidikan. Kejujuran menjadi harga mati. Menguji diri dengan jujur adalah hakikat ujian.

Kendati UN bukan lagi penentu kelulusan, fungsi pemetaannya justru sangat strategis dalam pengambilan kebijakan pendidikan. Bagaimana jika kebijakan strategis itu mengacu data-data bias dan manipulatif? Ini momentum untuk mengubah. Para guru dan sekolah jangan menyia-nyiakan kepercayaan yang memberi wewenang penuh menentukan kelulusan siswa. UN era baru ini sekaligus menguji kejujuran dan semangat guru-siswa menghadapi kurikulum pendidikan karakter.

Ironis, jika pendidikan sebagai media utama kejujuran justru menyuburkan yang sebaliknya. Pencapaian tinggi yang diraih dengan cara-cara tidak jujur tidak akan bermakna dalam pendidikan. Orang-orang berpendidikan jangan menutup mata dan telinga, dengan mengingkari hakikat ujian, bukan hanya mengukur angka-angka keberhasilan transfer of knowledge, melainkan menguji transfer of attitude and values yang tercermin dalam kejujuran meraih prestasi.

Siswa, guru, dan orang tua jangan terbuai kata-kata "UN tidak menentukan" kelulusan, sehingga semangat belajar mengendur. Jangan lupa, nilai ujian ini masih menjadi penentu seleksi masuk ke sekolah jenjang berikutnya, tidak terkecuali masuk perguruan tinggi negeri. Mari terus memotivasi anak-anak kita untuk gigih berjuang menguji potensi diri penuh kepercayaan diri. Ajarkan berpikir positif, bahwa UN untuk kepentingan siswa, bukan untuk guru atau orang tua.


Tags: