Menuju Sekolah Bertaraf Internasional Butuh Proses

Menuju Sekolah Bertaraf Internasional Butuh Proses

DALAM perjalanan empat tahun untuk menuju taraf internasional bagi sekolah berstatus rintisan membutuhkan proses yang tidak singkat. Artinya, agar dapat dinilai baik saat evaluasi dan validasi oleh Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), mereka harus memenuhi persyaratan yang ditentukan. Syarat itu tentu saja berkaitan dengan pelaksanaan dan pengelolaan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), seperti pencapaian prestasi akademik/nonakademik, SDM guru, manajemen sekolah, hingga terpenuhinya kuota sebanyak 20% untuk mengakomodasi siswa miskin.

Lalu, dalam proses tersebut, apa yang membedakan RSBI dengan sekolah yang memiliki kategori standar atau bertaraf nasional? Ya, tentu saja hal itu dapat dilihat mulai dari fasilitas di sekolah dan proses pembelajaran di kelas.

Misalnya saja di SMA 3 Semarang, di salah satu kelas guru Biologi Endang Susilowati menerangkan pelajaran dengan menggunakan pengantar bahasa Inggris. Di depan kelas bukan hanya papan tulis, tapi juga ditunjang liquid crystal display (LCD) yang memampang materi pelajaran Biologi mengenai fungsi kulit.

Guru menjelaskan dengan bahasa Inggris, sementara di meja siswa menyimak buku yang menggunakan dua bahasa (billingual) sesuai kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). ”Memang tidak selalu menggunakan bahasa Inggris, tapi sebisa mungkin kami efektifkan, karena sekolah ini sedang merintis ke status atau bertaraf internasional,” ungkap Endang.

Sama halnya di SMP 2 Semarang, tidak hanya guru di kelas yang menggunakan percakapan dalam bahasa Inggris dengan siswa, tapi pembimbing ekstrakurikuler karawitan juga menggunakan bahasa internasional itu, meski sesekali diselingi bahasa Jawa sesuai dengan kesenian tersebut berasal.Seperti itulah penggunaan bahasa Inggris di sekolah RSBI. Memang tidak selalu atau mewajibkan bahasa asing, tapi seluruh komponen sekolah harus bisa dan memahami.
Tidak Selalu Kepala Sekolah (Kasek) SMA 3 Semarang Hari Waluyo mengatakan, sistem komunikasi dalam RSBI tidak selalu dan wajib menggunakan bahasa Inggris. Pihaknya menyebut sistem billingual atau dua bahasa lebih tepatnya, karena ada pelajaran tertentu seperti bahasa Indonesia tidak menggunakan bahasa Inggris. Namun, untuk mapel yang di-ujiannasionalkan (UN), harus memakai bahasa Inggris. ”Bahkan, dalam ulangan akhir semester dan ujian kenaikan kelas, dilakukan dua kali tes dengan dua bahasa tersebut,” ungkapnya.

Hari menambahkan, sifat sekolah rintisan adalah sebuah proses untuk menjadi bertaraf internasional yang sesungguhnya, sehingga dalam proses menuju ke sana pihaknya terus berupaya memenuhi segala syarat yang ada. ”Selama empat tahun ini, sudah dua kali kami melakukan validasi, empat kali evaluasi, dan meraih yang terbaik se- Indonesia pada 1999. Syukurlah dinilai baik, bahkan akreditasi sekolah mencapai nilai sempurna yaitu 99,” tuturnya.

Kasek SMP 2 Semarang Sutomo menjelaskan, meski selalu dikritisi pihaknya sangat setuju jika RSBI selalu dievaluasi, karena sekolah ini menjadi patokan pendidikan nasional.

”RSBI dibentuk untuk menampung anak-anak yang mempunyai kecerdasan melebihi yang lain, sehingga ke depan sekolah ini akan menjadi contoh, baik siswa, guru, ataupun lulusannya. Semua butuh proses dan kalau memang dalam evaluasi dinilai tidak layak, harus siap didiskualifikasi,” ungkap Ketua Forum RSBI Jateng Indonesia ini.

Pembelajaran dengan billingual memang menjadi patokan, dan bahasa Inggris jadi utama.

Alasannya, karena lulusan RSBI disiapkan untuk bersaing secara global di kancah internasional. (Anggun Puspita-37)


Tags: