Menyikapi ’Ancaman’ Perguruan Tinggi Asing

Menyikapi ’Ancaman’ Perguruan Tinggi Asing

WACANA merebaknya Perguruan Tinggi Asing (PTA) sebenarnya sudah muncul sejak lama. Begitu pula kekhawatiran pelaku dan praktisi dunia pendidikan akan ancaman serbuan PTA ini juga sudah sering dikedepankan. Kenyataan selama ini, sudah banyak Perguruan Tinggi Asing yang ‘berjualan’ di negeri kita, termasuk berani masuk ke ‘kandang macan’ dalam arti menggelar program studi mereka untuk dipasarkan di kota yang dikenal sebagai kota pendidikan, katakanlah Yogyakarta.
Kenyataan yang harus diakui saat ini, setiap kali PTA tersebut mengadakan open house di beberapa hotel di Yogyakarta, selalu dibanjiri para pelajar SLTA yang entah hanya sekadar ingin tahu atau memang berminat untuk studi lanjut di luar negeri. Program dan fasilitas plus layanan yang ditawarkan beberapa perguruan tinggi di luar negeri itu memang menggiurkan dan menawarkan banyak kemudahan dan kenyamanan.
Inilah yang sebenarnya perlu dijadikan bahan perenungan dan kajian mendalam, mengapa banyak lulusan SLTA atau orangtua yang dengan begitu mudahnya memilih perguruan tinggi di luar negeri dibandingkan perguruan tinggi di dalam negeri.
Ini baru studi di luar negeri. Apalagi kalau kemudian PTA tersebut ada di depan mata kita, dan bertengger di kota-kota di Indonesia. Sehingga, sangat dimengerti manakala Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi), Prof Dr Edy Suandi Hamid MEc memberikan warning, bahwa masuknya Perguruan Tinggi Asing (PTA) ke Indonesia perlu dikaji ulang. Hal ini perlu agar PT di sini lebih dulu melakukan penguatan. Karena, kalau dibuka sekarang, akan banyak PT di Indonesia yang collapse atau gulung tikar.
Pernyataan Ketua Umum Aptisi ini dinilai penting, terutama terkait dengan Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT) yang sedang dibahas di DPR yang diharapkan dikaji secara hati-hati, khususnya PT asing yang akan diperbolehkan masuk ke Indonesia.
Sistem pendidikan di Indonesia memang terkesan masih tambal sulam, dan terus mencari identitas. Nuansa nostalgia dengan Malaysia, misalnya, masih sering terdengar terkait dengan keberhasilan dan melajunya pendidikan di negeri jiran tersebut, yang sering dikedepankan bahwa ‘dahulu mereka belajar dari Indonesia’.
Kenyataan bahwa ranking perguruan tingggi di Indonesia masih jauh di bawah perguruan tinggi lain di banyak negara di kawasan Asia, harus menjadi pemikiran bersama. Keprihatinan tentunya tak cukup sekadar merenung, meratapi, dan bernostalgia. Namun harus diikuti dengan langkah konkret, dimulai dari regulasi yang mendukung, termasuk dukungan anggaran yang ‘tak tanggung-tanggung’, serta komitmen kalangan wakil rakyat disamping tentunya kalangan pendidik sendiri.
Kita harus segera melakukan langkah aksi nyata untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita, termasuk penyediaan fasilitas dan layanan yang prima untuk peserta didik. Masih banyak perguruan tinggi yang memperlakukan anak didiknya lebih sebagai komoditas, bukan sebagai customer yang harus dilayani.
Tak ada kata terlambat untuk mulai melakukan aksi nyata yang menunjukkan bahwa pendidikan kita tak kalah dengan PTA. Sehingga, jangan sampai ketika PTA hadir, kita semua terkaget-kaget dan kemudian hanya bisa meratapi. q - g.


Tags: