PENDAPAT GURU ; Diskriminasi Anggaran Pendidikan 2012

PENDAPAT GURU ; Diskriminasi Anggaran Pendidikan 2012

AMANAT Undang-undang No 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) dengan tegas menyatakan, negara wajib menganggarkan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN/APBD untuk pendidikan di luar gaji pendidikan. Pada 2008 lalu, ketentuan tersebut digugat seorang guru dan dosen dari Makassar (entah motifnya apa) yang menyatakan, anggaran 20 persen harusnya sudah termasuk gaji pendidik.
Gugatan tersebut kemudian dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK) dan berlaku efektif mulai tahun 2009. Sejak itu, anggaran pendidikan melonjak dari 9 persen menjadi 20 persen. Namun sayang, anggaran besar tersebut, 70 persennya tersedot untuk menggaji pendidik. Anggaran pendidikan untuk tahun 2012 tak jauh beda nasibnya. Meski mengalami peningkatan yang cukup signifikan, sebagian besar habis untuk membayar tenaga pendidik yang lolos sertifikasi.
Peningkatan anggaran 2012 sebenar- nya cukup besar, yakni Rp 19,7 triliun, dari semula Rp 266,9 triliun menjadi Rp 286,6 triliun. Angka tersebut sudah mencakup gaji guru dan dosen, sehingga harapan adanya perbaikan pendidikan kita masih jauh di awan. Optimisme Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di tahun 2012 tak ada lagi anak putus sekolah karena kekurangan biaya, tampaknya sulit terwujud.
Apalagi hingga saat ini pemerintah masih diskriminatif terhadap keberadaan sekolah swasta. Sekolah-sekolah swasta hanya ditempatkan sebagai anak tiri, bukan anak kandung. Akibatnya, sekolah swasta selalu pontang-panting hanya untuk sekadar bertahan hidup. Padahal di sekolah-sekolah tersebut angka putus sekolah paling tinggi. Sekolah gratis yang didengung-dengungkan hanya berlaku di sekolah negeri.
Angka putus sekolah lebih banyak terjadi di sekolah-sekolah swasta pinggiran yang didominasi keluarga miskin. Mereka berpotensi putus sekolah lantaran hambatan biaya sekolah yang tak mampu mereka jangkau. Sialnya, di sekolah-sekolah tersebut tidak ada bantuan dari pemerintah. Peningkatan anggaran tak berdampak banyak, terutama pencegahan terhadap putus sekolah, jika pemerintah masih ‘pelit’ terhadap sekolah-sekolah swasta. Selain itu, alokasi dana pendidikan harus difokuskan untuk pendidikan dasar (SD-SMP) yang pada masa itu paling rawan terjadi putus sekolah.
Coba perhatikan, dari alokasi Rp 286,6 triliun, anggaran operasional pendidikan yang diterima Kemdiknas hanya Rp 59 triliun. Dari dana tersebut, alokasi untuk pendidikan tinggi Rp 29,1 triliun, sedangkan untuk pendidikan dasar Rp 9,2 triliun. Padahal jumlah perguruan tinggi negeri (PTN) hanya 82 dengan 2 juta mahasiswa. Adapun jumlah institusi pendidikan dasar mencapai 200 ribu dengan siswa berjumlah 35 juta anak.
Kita berharap pemerintah merevisi alokasi dana pendidikan dimana pendidikan dasar harus menjadi prioritas utama. Pemerintah juga harus lebih banyak memberi bantuan kepada sekolah swasta pinggiran. Hanya dengan begitu angka putus sekolah bisa ditekan. Sulit kiranya membayangkan pendidikan Indonesia bisa bermutu jika perhatian terhadap sekolah dasar saja masih minim. q - m
*) Penulis, Guru PAUD Griya Nanda UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


Tags: