PENDAPAT GURU ; Guru Muda Semangat Tua?

PENDAPAT GURU ; Guru Muda Semangat Tua?

MENGAMATI krisis nasionalisme akhir-akhir ini, serta menjelang momentum Hari Sumpah Pemuda yang jatuh 28 Oktober, penulis teringat ungkapan bijak Bung Karno. ”Seribu orang tua bisa bermimpi. Satu orang muda bisa mengubah dunia”, begitu ungkapnya. Jika pernyataan mantan Presiden RI itu direfleksikan ke dunia pendidikan nasional, khususnya bagi para guru, tentu akan memberikan efek yang luar biasa. Bagaimana efek tersebut bagi para guru?
Peristiwa 28 Oktober 1928 itu, ternyata tak hanya menghasilkan ikrar yang bernama Sumpah Pemuda, melainkan juga berimbas pada pola perjuangan bangsa saat itu. Para pejuang yang awalnya bersifat kedaerahan (lokal), setelah ikrar Sumpah Pemuda, berubah menjadi keindonesiaan (nasional). Dengan demikian, perasaan kedaerahan (etnosentrisme) melebur dan menjadi perasaan kebangsaan (nasionalisme) yang kokoh.
Kekokohan nasionalisme itu kian mewujud nyata pada 17 Agustus 1945, 17 tahun setelah Pemuda Indonesia mengikrarkan dirinya dalam peristiwa Sumpah Pemuda. Adapun ikrarnya berisikan tiga hal pengakuan atas satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa Indonesia. Namun, dalam perkembangan bangsa saat ini, nilai-nilai yang terkandung dalam Sumpah Pemuda kian tergerus. Bersamaan itu, keunggulan demi keunggulan bangsa ini lambat laun sirna.
Pada tahun 1970-an, kita pernah diminta mengirimkan guru-guru ke Malaysia. Saat itu, Malaysia mengakui keunggulan kita di bidang pendidikan. Tapi kini, kondisinya berbalik. Malaysia telah berani menawarkan beasiswa pendidikan pascasarjana (S2/S3) kepada putra-putri terbaik bangsa ini. Bukan tidak mungkin, para dosen kita yang mumpuni akan diberikan kesempatan untuk mengajar di sejumlah universitas di Malaysia.
Atas kondisi itu, sejatinya kita patut prihatin dan merenung. Mengapa sumber daya manusia, khususnya para guru kita di semua level, masih kurang didayagunakan? Memang diakui, dari segi kesejahteraan pemerintah telah menggaji para guru kita dengan ”cukup”. Namun, perkembangan keilmuan, kinerja serta publikasi ilmiah mereka dirasakan masih jauh dari yang diharapkan, sekalipun sebagian besar guru kita sudah bersertifikasi.
Untuk itu, kita menyerukan agar, pertama, para mahasiswa kependidikan atau calon-calon guru (muda) dapat meningkatkan keilmuan, kinerja serta publikasi ilmiahnya. Menjadi guru di usia muda sejatinya merupakan kesempatan emas untuk menempa diri sebaik-baiknya, serta menempatkan diri ke dalam barisan anak bangsa yang peduli dan bersemangat akan pendidikan dan masa depan bangsa ini.
Kedua, para guru yang usianya tak muda lagi (guru tua) sejatinya perlu bersemangat muda dalam meningkatkan hal-hal di atas. Di sini, kita melihat pentingnya sinergisitas antara para guru muda dan guru tua. Bagaimana pun, usia tidak menjadi kendala seseorang untuk berkiprah dalam keilmuan, kinerja, dan publikasi ilmiah selagi yang bersangkutan memiliki semangat. Meminjam Bung Karno, seribu guru tua bisa bermimpi dan satu guru muda bisa mengubah dunia. q - g
Guru Jurnalistik SMTI Yogyakarta dan mahasiswa S2 UNY.


Tags: