PENDAPAT GURU ; Sertifikasi atau Gratifikasi

PENDAPAT GURU ; Sertifikasi atau Gratifikasi

SEIRING telah berjalannya program sertifikasi bagi guru dan dosen yang telah memasuki tahun kelima ini, jujur harus diakui telah terjadi peningkatan penerimaan guru. Ujungnya, peningkatan kesejahteraan bagi kalangan guru. Hal ini nampak dari beberapa indikator, di antaranya peningkatan kemampuan daya beli guru. Bahkan, menurut data yang dilansir Biro Pusat Statistik (BPS), terjadi peningkatan yang signifikan jumlah guru yang menunaikan ibadah haji setiap tahunnya. Namun di sisi lain pernyataan BPS yang menyejukkan ini ternyata berbeda dengan pernyataan yang disampaikan Mendiknas M Nuh yang merasa risih dengan sebagian guru yang memanfaatkan tunjangan profesi yang diterimanya untuk membeli hal-hal yang tidak berkaitan dengan peningkatan profesionalitas guru. Padahal jika merujuk pada sebutan ‘guru profesional’ yang tercantum dalam Sertifikat Pendidik yang diterima guru, seharusnya tunjangan profesi yang diterima dialokasikan untuk peningkatan profesionalitas guru. Berkaitan dengan realita yang berkembang di masyarakat, tidak salah jika muncul seloroh yang mengatakan, tunjangan profesi yang diterima guru ‘sertifikasi atau gratifikasi’. Meskipun hal ini berupa seloroh tampaknya perlu menjadi renungan bagi segenap guru terutama penerima tunjangan tersebut. Bahkan, dalam seloroh yang lebih jauh jika istilah itu dikaitkan dengan hukum Islam, berbeda pula perlakuannya. Jika hal itu dianggap sebagai gratifikasi seharusnya dipotong 20 persen sebagai zakat karena disamakan dengan harta hibah, namun jika sertifikasi berarti hanya 2,5 persen. Seloroh-seloroh tersebut di atas hendaknya menjadi satu pemikiran bagi segenap guru. Sebutan sebagai gratifikasi atau sertifikasi sebenarnya kembali pada pribadi masing-masing. Hal ini tentu saja berkaitan dengan kinerja yang ditampilkan masing-masing guru. Karena kualitas kinerja yang kita tampilkan mampu melawan seloroh tersebut. Artinya, jika kinerja guru semakin membaik pasca menerima tunjangan profesi tersebut, kita telah mampu membuktikan, bahwa tudingan miring tersebut keliru. Namun, jika justru sebaliknya, kita harus bersiap-siap menerima hujatan dari masyarakat berkait dengan embel-embel ‘profesional’ yang kita sandang. Perlu disadari, pemerintah tidak secara cuma-cuma memberikan tunjangan tersebut. Pemerintah berharap peningkatan kesejahteraan tenaga guru menjadi stimulus bagi peningkatan kinerja guru dan pada muaranya peningkatan mutu pendidikan di tanah air, sehingga jika pada periode yang lalu muncul keluhan tentang kesejahteraan guru yang belum memadai, langkah ini dianggap sebagai solusi. Sedangkan bagi guru sendiri pemberian tunjangan profesi dapat mempunyai makna ganda. Pertama, sebagai bentuk perhatian pemerintah terhadap keberadaan guru yang menjadi ujung tombak pendidikan, terutama berkaitan dengan tingkat kesejahteraan. Kedua, tunjangan profesi dapat menjadi bumerang bagi guru itu sendiri manakala harapan masyarakat yang begitu menggunung tidak mampu terealisir. Pada akhirnya, pertanyaan yang muncul terhadap korps guru adalah mampukah para pendidik ini menjaga amanah tersebut? q - k *) Penulis, Bekerja di SMA Negeri 5 Magelang.


Tags: