Pendidikan Antikekerasan

Pendidikan Antikekerasan

KASUS kekerasan yang terjadi di tengah masyarakat semakin memprihatinkan. Memprihatinkan bagi dunia pendidikan, karena bergulirnya praktik dan operasionalisasi kekerasan dengan beragam wajah, motif, dan kepentingan menjadi bukti sahih kegagalan internalisasi pendidikan yang humanis. Kekerasan di negeri ini yang dulu dilakukan oleh aparatus negara untuk merepresi hak asasi masyarakat, kini justru dilakukan berbagai komunitas sipil.

Banyak pelaku kekerasan yang ternyata masih berusia muda dan bahkan masih mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Mengapa hal itu bisa terjadi dan mengapa substansi pelajaran tentang moral Pancasila, pendidikan karakter, dan pesan kerukunan sosiologis tidak bisa mengerem hasrat kekerasan? Apakah dunia pendidikan gagal mereproduksi ajaran dan substansi pembelajaran tentang prinsip kerukunan sosial dan sikap kemanusiaan yang toleran?

Saat ini di luar ranah pendidikan formal berkembang elemen pendidikan nonmainstream yang menguatkan sikap subjektivisme, sektarianisme, dan primordialisme. Elemen-elemen pendidikan tersebut menjadi alat pelembagaan nilai-nilai ”deviatif” yang bertentangan dengan substansi ajaran pendidikan yang memuat pesan tentang kerukunan, humaniora, kebhinekaan, dan kegotongroyongan.
Jadi Aktor Konsekuensi dari realitas liberalisasi demokrasi dan tumbuhnya kekuatan sosiologis antidemokrasi sebagai parasit. Yang menyedihkan, kekerasan yang seolah terjadi secara periodik telah menjadikan anak muda dan anak yang masih belajar di sekolah menjadi aktor di lapangan. Mereka bangga dengan operasionalisasi kekerasan yang menekan hak hidup kelompok yang minoritas.

Tugas penggiat dunia pendidikan dalam berbagai jalur dan jenjang untuk mengeliminasi kesadaran proviolence (prokekerasan) menjadi kesadaran peace building (pembangun kerukunan).

Ada beberapa hal yang harus dilakukan: Pertama, guru dan komunitas pendidik harus serius menanamkan materi pembelajaran tentang prinsip kemanusiaan, kerukunan sosial, kebangsaan. Guru menjadi elemen vital untuk mengembalikan kesadaran anak muda dan anak usia sekolah pada konstruksi kesadaran cinta perdamaian.

Kedua, diperlukan realisasi kurikulum pendidikan antikekerasan secara sinergis dengan kurikulum pendidikan multikultural yang dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan. Hal itu untuk mendorong kesadaran internal siswa akan hakikat perdamaian. Ketiga, pendidikan karakter diorientasikan untuk membangun karakter siswa dan generasi muda tentang apa yang dinamakan karakter kebangsaan yang genuine, yakni menghargai perbedaan. (37)

— Ari Kristianawati, guru SMAN 1 Sragen


Tags: