Pendidikan Antikorupsi, Efektifkah?

Pendidikan Antikorupsi, Efektifkah?

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) akan mulai menjalankan muatan pendidikan antikorupsi pada tahun ajaran 2012/2013, tepatnya mulai Juni mendatang. Pendidikan yang bertujuan membudayakan sikap dan perilaku antikorupsi ini, akan dilekatkan pada kurikulum pendidikan karakter, dan dilaksanakan sejak pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi. Pendidikan ini selain untuk siswa, juga berlaku untuk guru dan kepala sekolah.

Program pendidikan yang merupakan tindak lanjut nota kesepahaman antara Kemdikbud dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu, sudah dirintis sejak 2010. Tujuannya untuk membentuk generasi baru yang antikorupsi. Generasi baru ini digambarkan anak-anak muda yang jauh dari sikap dan perilaku koruptif, bahkan mendengar kata korupsi saja sudah alergi. Generasi baru inilah yang diharapkan akan memperbaiki kondisi Indonesia yang terpuruk.

Melihat tujuannya, tak diragukan lagi, pendidikan antikorupsi akan memberi fondasi mental yang kuat bagi setiap orang di negeri ini untuk menjauhi korupsi. Itulah solusi atas keluhan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas bahwa telah muncul generasi baru koruptor yang sistemik. Korupsi yang sering dikatakan sudah membudaya di negeri ini, dan karenanya sulit dberantas, hanya bisa diatasi melalui pendidikan karakter dan dimulai sejak usia dini.

Akan tetapi, betulkah pendidikan antikorupsi akan mampu memutus mata rantai generasi koruptor? Marilah kita lihat fakta-fakta latar belakang di mana pendidikan ini akan diterapkan. Pertama, harus diakui, penggagas pendidikan ini secara tidak langsung menilai pendidikan agama telah gagal. Pendidikan agama yang lebih menekankan moralitas religius dianggap tidak berhasil mencegah perilaku koruptif bangsa. Ketakwaan hanyalah artifisial.

Kedua, praktik pendidikan antikorupsi bisa tidak steril terhadap budaya dan perilaku koruptif. Sudah bukan rahasia lagi, pelaksanaan dana bantuan operasional sekolah (BOS) diduga banyak diselewengkan karena memberi kesempatan kepada kepala sekolah dan guru untuk korupsi. Jangan-jangan, biaya untuk pendidikan antikorupsi juga dikorupsi! Begitu pula praktik pungutan di sekolah sering rawan korupsi. Jadi harus ada pengawasan yang ketat.

Ketiga, landasan mental saja rasanya belum cukup kalau lingkungan sosial tidak dibenahi. Sama saja dengan anjuran pola hidup sehat tetapi lingkungan sekitarnya masih penuh polusi. Karena itu, selain pendidikan antikorupsi, pendidikan agama harus tetap diperkuat dengan penerapannya. Sistem politik, birokrasi, hukum, budaya, dan lingkungan sosial perlu terus direformasi untuk tidak memberi kesempatan tiap orang mencuri uang rakyat. (/)


Tags: