Penguatan Karakter Dibangun Melalui Habituation Culture

Penguatan Karakter Dibangun Melalui Habituation Culture

Bandung (Pendis) - Sesungguhnya pendidikan agama sejak awal sudah diperkenalkan Menteri Pendidikan dan Pengajaran pertama Republik ini yaitu Ki Hajar Dewantara. Beliau telah menggariskan bahwa "Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita" (KHD; 1961).

Pada dasarnya pendidikan itu untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti, kekuatan intelektual melalui pembiasaan-pembiasaan. Budi pekerti dengan visoner Ki Hajar didefinisikan sebagai karakter (watak). Praktek pembentukan karakter, karena karakter itu wujud dari nilai, sikap dan perilaku. Tujuan puncak dari Pendidikan Agama adalah spirit Tuhan dalam diri anak baik secara ritual, relijius, dan spriritual. Islam sudah menegaskan jauh-jauh hari terkait dengan pembentukan karakter/watak pada kata khusus akhlakul karimah (akhlak mulia).

Bahrul Hayat, mantan Sekjen Kemenag RI, yang didaulat sebagai narasumber ahli pada kegiatan Penguatan Pendidikan Karakter, Deradikalisasi dan Moderasi PAI SMP (Angkatan II) mengungkapkan, "Sebelum hadir di sini, tadi siang saya diskusi di Dikbud tentang "nasib" PAI di abad XXI. Akan sedih bila anak mencari pembiasaan di luar rumah, dan anak akan mencari contoh di luar rumah, anak-anak lebih percaya pada guru, atau teman sepermainannya daripada orangtuanya. Agar pembelajaran tidak menjadi beban, ciptakan beban dengan selalu guru meringankan (merencanakan, pendekatan cinta, kasih sayang dan pendampingan) dan lakukan feedback (berikan kata-kata reward yang baik; good, excellent, pasti bisa)".

"Guru dan pemimpin sekolah itu seharusnya tidak berpaku dan kaku sebagai decision maker, sebaiknya sebagai coach (pelatih) selalu memberikan yang terbaik, berada di belakang untuk menyukseskan yang d latihnya. Coach cirinya; sifatnya melekat, syaratnya meyakini pekerjaan itu adalah pengabdi. Yakin bahwa profesi ini adalah pengabdian sepanjang hayat, memberi tidak pernah membayangkan menerima. Semuanya bermuara pada kesepakatan, penguatan karakter niscayanya dibangun bersama dan menyatu di sekolah, dan itu adalah ciri dan komitmen, tanamkan nilai di sekolah dengan semua elemen sekolah. Ini akan sangat beresiko bila dibiarkan, miris bila sejak dini orang tua sangat renggang mendampingi, membimbing anak-anak dalam pemahaman penumbuhan budi pekerti," lanjut Bahrul.

Pendidikan agama harus dibangun melalui pembiasaan (habituation), pemahaman (understanding), dan penalaran (reasoning) yang dilakukan secara progressif. Awalnya memang berat--beban bagi siswa untuk pembiasaan-pembiasaan kebajikan. Akar permasalahan radikalisme yaitu pembelajaran yang mendefinsikan Islam dari sisi lain. Intinya agar peserta didik tidak terpapar dengan radikaslisme yaitu sekolah persatukan dengan nilai budaya.

Karakter ada dalam budaya, jadikan sekolah menjadi komunitas kebaikan, kalau ingin melihat komunitas kebaikan mini datanglah ke sekolah. Mendidik anak dengan secara sederhana, berikan experiental learning. Anak akan belajar di mana dia hidup dan akan belajar pada orangtuanya. Pendidikan karakter ada di semua bidang studi. Caranya kalau anak berbuat baik, doronglah anak dengan berbuat baik. Perlakukan siswa dengan kasih sayang, hormat, bermartabat, bertanggungjawab, dan penuh perhatian. Perlakuan membangun karkater itu akan berhasil dengan sikap hormat, kasih sayang pada guru dan sesama itulah modal yang terbesar guru untuk mendidik anak. Tidak bisa mengajar yang baik itu disederhanakan dengan teknik. Mengajar yang baik itu datang dari integritas, identitas dan ikhlas. Dalam hal ini guru seharusnya memberikan pembiasaan yang positif, karena pembiasaan di sekolah akan sangat kuat.

Pada akhirnya membentuk karakter peserta didik tidak tergantung pada banyaknya aturan, tetapi bagaimana pendidik menjadi roel model sehingga mampu membudayakan nilai-nilai positif di sekolah. Guru PAI dalam membangun budaya karakter di sekolah sebelum action sebaiknya pertama, bangun sistem dengan basis regulasi (buat aturan-aturan sejak awal, dan ajak siswa dan unsur sekolah untuk kesepakatan). Kedua, bangun Role model dalam menanamkan nilai dan karakter bila ingin berjalan dengan baik sosialisasikan dengan teladan.

"Orang tua seharusnya jangan merasa nyaman ketika gadget/medsos semakin menyerang pikiran-pikiran anak, ketika anak banyak diam di kamar seorang diri, maka orangtua harus melakukan kontrol apa yang sedang dilakukan dan dilihatnya di media sosial. Di sinilah bimbingan orang tua diperlukan." tandas Bahrul menegaskan pentingnya peran ekstra orangtua.

Kegiatan Penguatan Pendidikan Karakter, Deradikalisasi dan Moderasi PAI SMP (Angkatan II) diikuti oleh 60 (enam puluh) orang Instruktur Nasional, Guru PAI dan Pengawas PAI yang diselenggarakan di Hotel Cipaku Garden Ledeng Bandung tanggal 11-13 Juli 2019. Keenam puluh peserta tersebut utusan dari kota dan kabupaten diprovinsi Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau, Bengkulu, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. (Yoni Haris/dod) (docfoto: Yoni Haris)


Tags: