Sekolah Rumah, Pilihan Keluar dari Dinding Kelas

Sekolah Rumah, Pilihan Keluar dari Dinding Kelas

JAKARTA, KOMPAS - Makin banyak orangtua yang memilih mendidik sendiri anak-anaknya. Putra-putri mereka pun lepas dari sekat-sekat ruang kelas. Sebagai ganti mendengarkan tuturan guru, anak belajar mandiri atau dengan bantuan ayah dan ibunya. Ada beragam alasan hingga akhirnya sekolah di rumah alias homeschooling menjadi pilihan.

Setiap pukul 08.00 teng! Yarel Yahu (17) dan Tsefan Yahu (15) naik ke lantai dua rumah, menuju ruang belajar bercat biru. Sebuah meja belajar, lemari kayu berisi buku-buku di sudut ruangan, dan dua buah kursi belajar tersedia di dalamnya.

Hampir sepanjang hari, Yarel dan Tsefan menghabiskan waktu di ruangan itu. Waktu belajar mereka memang tidak ditentukan, bisa saja sepanjang hari atau di sela-sela makan siang dan istirahat sebentar pada sore hari. Dari pukul 17.00 hingga 19.00, mereka boleh menonton film dengan dipantau orangtua mereka, Agustinus D Ndun (50) dan Antoneta Solsepa (46).

Cara belajar kedua bersaudara tersebut berbeda dengan anak sekolah umumnya. Yarel dan Tsefan kadang ditinggalkan untuk belajar sendiri selama Agustinus mengajar di Sekolah Tinggi Teologi Immanuel Nusantara, Jakarta. Sepulang bekerja, Agustinus memeriksa hasil pelajaran mereka dan menguji kepahaman terhadap materi.

Jika ada yang tak dimengerti, mereka mencarinya di internet atau bertanya kepada orangtua. "Biasanya saya mempelajari satu buku sampai selesai. Baru pindah ke pelajaran lain," kata Yarel yang suka pelajaran Matematika. Pembelajaran Yarel dan Tsefan mengacu pada Kurikulum 2006 di sekolah sehingga semua buku bacaan dan pelajaran sama dengan di sekolah formal.

Antoneta bercerita, sebelum pindah rumah dua bulan lalu, di rumah lamanya ada lapangan basket sehingga anak-anak bisa bermain di rumah. Sekarang, Yarel dan Tsefan akan masuk klub basket di Bekasi, Jawa Barat. Yarel juga ikut les vokal karena ingin menjadi penyanyi.

Yarel dan Tsefan kembali belajar di kelas saat mengikuti kursus bahasa Inggris. "Tetapi, kadang mereka diolok-olok teman di tempat kursus dan dibilang anak mami. Sampai di rumah, Yarel mengamuk dan tak mau mengerjakan tugas," kenang Antoneta.

Sejak kecil

Mereka menjalani sekolah di rumah sejak berusia 10 tahun. Yarel sebetulnya pernah mencoba belajar di sekolah dasar swasta di Bekasi hingga kelas III dan Tsefan selama tiga bulan. Namun, Agustinus merasa, di sekolah mereka tak belajar maksimal dan lebih banyak bermain. Lingkungan sekolah juga dirasa kurang aman dari kekerasan dan pelecehan seksual. Akhirnya, ia dan istri memutuskan mengajar sendiri anak di rumah.

Kata Agustinus, saat awal bersekolah di rumah, dia berusaha menciptakan suasana sekolah bagi anak-anaknya. Sebuah ruangan disulap menjadi kelas. Yarel dan Tsefan belajar layaknya anak-anak di sekolah dengan duduk di bangku dan ada meja kayu serta disediakan papan tulis di depan kelas. Mereka belajar memakai seragam. Itu berlangsung sampai kelas IV.

"Biar mereka merasa seperti sekolah sungguhan. Kalau diingat-ingat memang lucu, ha-ha-ha," ujarnya. Tentu saja, sekarang mereka tidak lagi memakai seragam.

Untuk menjaga tontonan dan pergaulan anak-anaknya, Yarel dan Tsefan belum diberi telepon seluler dan selalu diawasi saat menggunakan internet. Tontonan juga dibatasi untuk film dan acara berita. Jika bosan belajar dan butuh hiburan, mereka diberi waktu untuk menonton bioskop atau bersenang-senang.

"Di rumah, kami bisa memantau anak-anak, sedangkan di sekolah kami tidak bisa terus mengawasi mereka," ujar Agustinus di Bekasi, Rabu (11/3). Selama di rumah, mereka bisa mengontrol pembelajaran dan melihat langsung perkembangan belajar anak.

Selain itu, Agustinus mengakui, biaya sekolah bisa ditekan dan dia menyimpannya untuk rencana masa depan anak-anak. Dia hanya mengeluarkan uang untuk membeli buku, tanpa harus memikirkan iuran sekolah, jajan, transportasi, dan lain-lain.

"Mereka juga lebih sehat karena makan di rumah," ujar Agustinus yang yakin orangtua memegang peranan sampai 90 persen dalam mendidik anak.

Sulit cari sekolah

Lain lagi dengan metode pembelajaran yang diterapkan Anastasia Rima (41) kepada kedua putranya, Raka Ibrahim (18) dan Sulaiman Deli Ramadhani (14). Baginya, pendidikan harus bisa membuat anak bahagia.

Awalnya, Anastasia memasukkan Raka ke sekolah alam di Bandung, tetapi setelah dua tahun sekolah itu tutup. Setelah itu, anak-anak Anastasia sempat berganti-ganti sekolah. Namun, Anastasia tidak menemukan sekolah baru yang cocok bagi sang anak sehingga memutuskan menjadi pengajar anak-anaknya.

Dia memilih menerapkan unschooling, yakni anak-anak bebas memilih yang ingin dipelajari tanpa paksaan dan larangan. Tidak ada buku pelajaran, metode pelajaran, tugas, dan ujian.

"Mereka boleh baca buku apa saja, menonton, dan membuat penelitian sendiri. Tetapi, semua yang mereka lakukan harus dibuatkan resume dan dipresentasikan," ujarnya. Metode ini, menurut dia, paling tepat karena Raka dan Deli belajar berargumentasi dan mengerti konsekuensi dari pilihan mereka.

"Misalnya, mereka ingin tahu cara membuat tempe atau mi. Mereka bisa mencarinya dengan membaca buku, internet, atau menonton televisi," kata wanita yang bekerja sebagai penerjemah itu.

Untuk sosialisasi, Raka senang berkumpul dengan komunitas-komunitas tertentu untuk berbagi pikiran dan ilmu. Saat berusia 15 tahun, dia sudah magang di sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang hak asasi manusia dan kesetaraan jender. Saat ini, Raka bersiap mencari tempat tinggal baru dan melaksanakan rencana hidupnya. "Saya ingin berkuliah agar dapat pekerjaan dengan gaji menjanjikan," kata Raka.

Sebagai orangtua tunggal, Anastasia merasa telah memilih jalan benar untuk mendidik anak-anaknya. Dengan menempuh jalan yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya, dia ingin fokus menyiapkan anak-anaknya meraih mimpi dan tujuan hidupnya sendiri.

Mohammad Siddiq, yang keempat anaknya bersekolah di rumah, berpendapat senada. Baginya, sekolah di rumah merupakan salah satu alternatif pendidikan bagi masyarakat. Selama ini, masyarakat menganggap pendidikan hanya bisa dicapai melalui jalur formal, yaitu sekolah konvensional.

"Padahal, ada berbagai jenis layanan pendidikan, mulai dari sekolah reguler, sekolah fleksibel, sekolah alam, pesantren, hingga sekolah rumah. Semua tinggal disesuaikan dengan kebutuhan anak dan orangtua," ujarnya.


Tags: