Supersemar dan Kebebasan Akademik

Supersemar dan Kebebasan Akademik

Yogyakarta (Suara Merdeka) - HARI belum beranjak siang, namun sidang kabinet Dwikora tanggal 11 Maret 1966 harus diakhiri sebelum waktunya. Situasi berubah kacau, Presiden Soekarno yang baru saja membuka sidang langsung menyelesaikan sambutannya dan cepat-cepat terbang menuju ke Istana Bogor.

Sore harinya, tiga orang jenderal yaitu Basuki Rachmat, Amirmachmud, dan M Jusuf menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor. Mereka berhasil meyakinkan Presiden untuk mengeluarkan surat perintah kepada Letjen Soeharto untuk mengamankan situasi.

Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966 pernah dianggap sakral karena dianggap sebagai tonggak sejarah lahirnya Orde Baru. Orde Baru pernah mengalami kejayaan, namun dengan bergulirnya reformasi semua berubah. Persepsi mengenai Supersemar juga berbalik 180 derajat. Berbagai analisis mempertanyakan kebenaran Supersemar. Dugaan bahwa Supersemar menjadi alat legal formal peralihan kekuasaan juga menguat.

Kontroversi mengenai Supersemar pun bermunculan. Dalam pidato Jasmerah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah) tanggal 17 Agustus 1966, Presiden Soekarno mengakui keberadaan Supersemar namun ditegaskannya bukan sebagai perintah peralihan kekuasaan (transfer of authority). Supersemar dikeluarkan untuk mengatasi keadaan dan menjaga wibawa presiden.

Dalam pidato tersebut Presiden Soekarno sempat menyampaikan rasa terima kasihnya pada Letjen Soeharto. Pidato ini juga secara otomatis menepis dugaan upaya pemaksaan atau todongan senjata agar Presiden Soekarno mau menandatangani Supersemar. Kenyataannya tak hanya Supersemar, masih ada banyak kontroversi sejarah di negeri ini yang perlu diungkap.

Sejak dulu sejarah memang tidak bisa lepas dari kepentingan politik penguasa. Kebenaran dan kebohongan menjadi sesuatu yang beda tipis. Padahal sesuatu yang keliru mesti diluruskan, sementara yang sudah benar akan tetap benar dan jangan dipelintir. Kebenaran suatu peristiwa sejarah hanya ada dalam peristiwa itu sendiri, selebihnya adalah interpretasi.

Maka objektivisme dalam sejarah begitu penting. Terakumulasinya sinisme terhadap sejarah "resmi"yang selama ini diyakini sebagai kebenaran tunggal melahirkan berbagai wacana alternatif. Terutama soal perlunya historiografi atau penulisan ulang Sejarah Indonesia.

Kebenaran sejarah harus diteruskan kepada masyarakat agar tidak terjebak dalam kegamangan masa lalu. Melalui refleksi 50 tahun Supersemar, maka sejarah Supersemar yang selama ini dibalut oleh kepentingan politik perlu dikembalikan pada relnya. M Tullius Cicero mengatakan "Historia est testis temporum, lux veritatis, vita memoria, magistra vitae, nuntia vetustatis". Sejarah adalah tanda zaman, cahaya kebenaran, kehidupan ingatan, guru kehidupan, dan utusan masa lampau. Memahami sejarah merupakan pelajaran hidup yang akan membuat manusia lebih bijak.

Kebenaran Sejarah

Kebenaran sejarah juga penting bagi pembentukan imaji masa lalu yang melahirkan identitas dan integrasi bangsa. Pelarangan terhadap kegiatan akademik yang hendak menggali dan menyerukan kebenaran sejarah jelas melanggar kehendak bebas manusia yang dilindungi oleh konstitusi negara. Kebebasan akademik dimulai sejak zaman kejayaan rasional dan dicanangkan sebagai wujud keberpihakan pada kebenaran. Sayangnya persoalan kebebasan akademik hingga abad ini masih sering terjadi yakni tunduknya ilmu pada kepentingan politik dan kekuasaan.

Tanggung jawab ilmu untuk kepentingan dunia ilmu dan kesejahteraan manusia menjadi terabaikan. Soal kemanusiaan, moral, dan kebenaran terkalahkan oleh nafsu penguasa politik. Sejarah menjadi korban yang mendominasi. Kochhar (2008) mengungkapkan bahwa sejarah adalah akar dan politik adalah buahnya.

Pembatasan kebebasan akademik akan menghambat penyebaran pengetahuan dan tindakan rasional. Di sisi lain, kaum intelektual, termasuk para sejarawan, memiliki tanggung jawab moral untuk berpihak pada kebenaran. Jangan sampai kaum intelektual tenggelam dalam kedangkalan dan mengalami kemandulan akademik.

Lebih parah lagi apabila justru melacurkan diri untuk diperebutkan oleh berbagai kepentingan. Anggapan bahwa sejarah secara konseptual didominasi oleh sejarah militer dan politik, kehidupan para tokoh penguasa, perang, pemberontakan, dan perluasan kekuasaan perlu diubah.

Sejarah merupakan ilmu yang berbicara mengenai masyarakat dan bukan hanya menjadi alat penguasa. Sejarah kritis tidak hanya memperhatikan peristiwa-peristiwa politik dalam kehidupan berbangsa, namun juga aspek ekonomi, sosial, budaya, dan religius dalam perkembangan suatu bangsa.

Paradigma semacam ini penting agar sejarah tidak mudah jatuh dan terseret arus kekuasaan. Pada akhirnya pendidikan sejarah perlu mengambil jarak dengan berbagai kontroversi yang muncul dalam sejarah agar lebih objektif dalam mencari akar permasalahan serta solusi yang bijak bagi kehidupan bangsa ke depan.

Jangan sampai kaum muda menjadi semakin apatis dan kehilangan kesadaran sejarah yang berakibat pada lahirnya generasi yang ahistoris. Maka sejatinya jauh lebih penting yaitu menanamkan kesadaran sejarah sekaligus memaknai suatu peristiwa sejarah agar generasi muda dapat lebih arif bijaksana dalam menghadapi persoalan bangsanya. (50)


Tags: