Prof. Dr. Nurhayati, M.Ag, Rektor UIN Sumatera Utara Medan.

Prof. Dr. Nurhayati, M.Ag, Rektor UIN Sumatera Utara Medan.

Ada yang menarik dari sambutan Menteri Agama RI, Gus Yaqut pada acara peluncuran Logo Hari Santri beberapa waktu lalu di  Kementerian Agama Jakarta. Setidaknya Ada dua kalimat  kunci yang sampaikan Gus Yaqut yaitu, Jihad Santri Jayakan Negeri dan Jihad Santri di Era Transformasi digital.

Untuk yang pertama, Jihad santri berbeda dengan jihad santri masa lampau. Tentu tidak pada tempatnya jika kita masih mempertanyakan kontribusi santri dalam perebutan dan mempertahankan kemerdekaan. Pada masa perjuangan kemerdekaan, para santri memahami jihad sebagai perang (al-qithal). Saat itu Indonesia sedang di jajah, Kebebasan kita dirmapas, dan kekayaan sumber daya alam dikeruk untuk kepentingan penjajah. Tidak ada pilihan lain, santri harus melawan dan berperang. Santri harus mengorbakan jiwa raganya untuk merebut kemerdekaan walau harus bersimbah darah. Para santri sadar betul, jihad melawan penjajah memiliki makna teologis-spiritualistik yang sangat mendalam. Apapun hasilnya,  jihad tetap bermakna Kemenangan. Menang berarti santri berhasil merebut dan mengusir penjajah dari Bumi Pertiwi. Andaipun kalah dan gugur, para santri tetaplah menjadi syahid dan pahlawan nasional walau tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Para santri tetap saja menjadi syuhada yang gugur di jalan Allah SWT.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana santri memahami jihad saat ini? Agaknya Gus Yaqut memahami makna jihad bukan sesuatu yang statis tetapi dinamis. Jihad itu sesungguhnya sangat kontekstual. Karena itu bagi Gus Yaqut, makna jihad hari ini tidak lagi perang sebagaimana masa lalu. Jihad santri saat ini adalah jihad intelektual, jihad yang mengarah pada penguasaan ilmu pengetahuan dan skill yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Musuh santri saat ini bukan lagi penjajahan Belanda atau Jepang, tapi menurut Gus Yaqut musuh santri adalah kemiskinan dan kebodohan.  

Sampai di sini, tersirat bahwa jihad inetelektual itu bukanlah sebatas hanya penguasaan ilmu pengetahuan semata atau ilmu untuk ilmu. Tetapi jihad yang memberdayakan sekaligus membebaskan umat dari ketertinggalan. Dalam Bahasa yang berbeda, jihad intelektual dan pandangan Gus Yaqut adalah jihad transformative atau dapat juga dikatakan jihad yang membebaskan. Dalam konteks hari santri, Gus Yaqut menegaskan Jihad Santri untuk Kejayaan Negeri. 

Menjadi tidak relevan jika jihad santri adalah jihad idiologis atau jihad dalam mendirikan negara Islam atau khilafah. Karena bagi santri hal ini sudah selesai dalam makna, NKRI sesungguhnyaa adalah warisan termahal yang ditinggalkan para Kyiai dan pendiri bangsa. Peninggalam Kyiai tentang NKRI adalah “harta yang paling berharga”, yang semestinya harus dijaga para santri sampai kapanpun. Jadi ikatan santri dengan NKRI bukan saja sebatas ikatan yang bersifat logis-ilmiah tetapi juga memiliki sandaran emosional yang kuat dengan para Kyiainya. Jika dahulu para Kyiai merebut dan mempertahankan Kemerdekaan yang kemudian bertransformasi menjadi bangsa yang Merdeka dalam bentuk NKRI, maka santri ditugaskan menjaganya sampai titik darah penghabisan.

Selanjutnya, energi yang sangat besar yang dimiliki para santri dan siap untuk diledakkan itu haruslah diarahkan untuk penguasaan sain dan teknologi serta skill, yang pada gilirannya dengan tiga sanjata tersebut santri dapat melakukan perubahan dan pemberdayaan di Masyarakat. Bukan saja kehidupan ekonominya yang berubah ke arah yang lebih baik, tetapi juga sosial politiknya juga akan semakin baik. Masyarakat benar-benar dapat disejahterakan. 

Kedua, santri dan era transformasi digital. Gagasan ini bukan saja karena Gus Yaqut telah dinobatkan sebagai tokoh yang berhasil melakukan transformasi digital di Kemenag, namun lebih dari itu gagasan tersebut menunjukkan kesadaran dan kepahaman Gus Yaqut akan masa depan bangsa. Pesantren tidak lagi terasing dengan perkembangan digital. Memang harus diakui, ada kesan jika pesantren terkesan sebagai lembaga yang paling terlambat merespon perkembangan dunia digital atau dunia serba internet. Bahkan ada anggapan dunia pesantren haruslah steril dari perkembangan tekhnologi digital. Pesantren harus dipertahankan keasliannya. Bukankah dengan keaslian itu, pesantren ternyata berhasil melahirkan pemimpin bangsa yang hebat. Alasan ini kendati memiliki nilai kebenaran, namun tidak berarti harus dipertahankan.

Sebagai tokoh Transformasi digital, Gus Yaqut ingin membawa Pesantren keluar dari lingkungan aslinya menuju lingkungan yang lebih modern, dinamis dan progresif. Keluar bukan dalam makna fisik dengan meninggalkan tradisi yang “salih” tetapi dalam makna digital. Karena bagaimanapun saat ini, tidak ada satupun institusi melepaskan diri dari penggunaan internet dengan segala bentuk dan perwujudannya saat ini. Transformasi digital Gus Yaqut sesungguhya dalam makna Al-muhafazhat ‘ala Qadim al-salih wa al-akhz bi al-jadid al-asslah. 

Sampai di sini, pada era digital, istilah tradisional (Islam tradisional) menjadi kehilangan relevansinya. Demikian juga istilah modern juga tidak lagi Tunggal. Bergelut dengan tekhnologi internet, maka siapapun dapat terjun bebas di dunia digital. Pilihannya hanya pada pengguna, apakah akan dipakai untuk hal positif dan mendukung kemajuan atau malah sebaliknya, menjadi pemicu bagi kehancuran manusia khususnya generasi mudanya.

Gus Yaqut sesungguhnya ingin memberi pesan yang jelas, bahwa Santri saat ini dihadapkan dengan tantangan yang tidak bisa dikatakan kecil. Tantangan yang membuatnya harus menggandakan kemampuannya serta menggunakan tekhnologi informasi untuk membantunya mencapai kondisi terbaik. Ketika ia mampu melepaskan dirinya dari keterasingan dari hiruk pikuk dunia dan mampu memilih posisi yang tepat, menggunakan ilmu dan tekhnologi untuk kemajuan, maka ia dapat menjadi pelopor bagi kemajuan bangsanya. Pada gilirannya Masyarakat akan terbebas dari belenggu kemiskinan. Tekhnologi informasi bagaimanapun canggihnya tetaplah sebagai alat atau media yang mampu menghantarkan seseorang pada kondisi terbaik. Yang menentukan adalah penggunanya. Sampai di sini, Santri sesungguhnya memiliki kemampuan dan ketahan untuk menggunakan tekhnologi untuk kebaikan dan kemajuan Masyarakat.

Hemat penulis, Gus Yaqut tetap konsisten untuk menjadikan agama sebagai daya dorong dan daya ungkit bagi kemajuan. Dalam Bahasa yang berbeda, Gus Yaqut menyebut agama sebagai inspirasi bagi kemajuan bukan sebagai aspirasi yang harus diperjuangkan mati-matian. Oleh karena itu, Gus Yaqut tidak pernah setuju jika agama dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu. Agama tetaplah menjadi sumber inspirasi bagi kebaikan dan kedamaian hidup Bersama. 

Selamat Hari Santri 2023
"Jihad Santri Jayakan Negeri"